Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Kompas dan Penulis yang Bahagia

Pecinta Kompas, penulis bebas yang bahagia. IG: @belfinpaians FB: belfin paian siahaan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mungkinkah Minum Kopi di Warkop Sambil Membaca Buku?

23 Juni 2022   23:30 Diperbarui: 27 Juni 2022   01:39 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baca buku di warkop | Sumber: Tribun Timur/ WA Ode Nurmin

"Ngapain sih membaca buku? Membaca buku ga akan menghasilkan uang!" Kata ibu saya dengan ketus waktu itu, tiap kali mendapati saya membaca buku seperti novel, koran, majalah, dan lain-lain. 

Ia percaya, kegiatan membaca itu sama dengan membuang-buang waktu. Saya kesal, tapi tidak ingin menyalahkannya.

Saya akhirnya menyadari dan memahami ucapan itu. Persoalan ekonomi menjadi faktor munculnya paradigma itu. Untuk memenuhi kebutuhan "perut" dalam keluarga, bekerja untuk mendapatkan uang  jauh lebih penting daripada menghabiskan waktu dengan membaca. 

Itu sebabnya, ia tidak suka melihat saya dan anak-anaknya menghabiskan waktu dengan membaca ketimbang membantunya bekerja di sawah, di ladang, dan di rumah.

Itu juga yang membentuk pemikirannya yang diterjemahkannya kepada kami: mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang harus menjadi cita-cita. Itu tidak didapat melalui membaca, tetapi melalui kerja keras dalam bentuk "bekerja". 

Mungkin karena ibu saya tidak terbiasa membaca dan tidak mendapatkan pengalaman itu sehingga di pikirannya, membaca sama saja membuang waktu dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Padahal, ia tidak tahu betapa besarnya pengaruh membaca itu kepada diri saya.

Pemikiran ibu saya itu bisa jadi telah membudaya dalam sebagian masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan seperti kami. Kegiatan membaca masih belum menjadi budaya dan diyakini tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin karena mendapatkan buku sulit karena persediaannya tidak banyak di desa. Bahkan, sekolah-sekolah belum tentu memiliki perpustakaan. Kalau pun ada, perpustakaan hanya seperti gudang tua, tidak menarik, dan membosankan. 

Atau bisa jadi, karena harga buku mahal, tentu tidak memungkinkan untuk membelinya. Rendahnya pendapatan sangat berbanding lurus dengan daya beli buku. Bagaimana mungkin mendahulukan buku, sementara urusan perut saja belum terpenuhi?

Minimnya "pengalaman" membaca itu menghasilkan perspektif yang diyakini benar oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Menjadi penulis tidaklah menjanjikan, tidak memiliki prospek sebagai pekerjaan yang menghasilkan uang. 

Profesi penulis bukan pilihan hidup yang tepat. Bahkan yang ironis lagi, hidup menjadi penulis adalah kere dan banyak susahnya. Hal ini tentu saja masuk akal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun