Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Kompas dan Penulis yang Bahagia

Pecinta Kompas, penulis bebas yang bahagia. IG: @belfinpaians FB: belfin paian siahaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandemi, There is Always a Light at The End of The Tunnel

7 Maret 2021   21:57 Diperbarui: 7 Maret 2021   22:35 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir setahun berlalu sejak pandemi merebak di Indonesia dan di dunia. Pandemi ini telah menjadi game changer yang 'memaksa' kita untuk mengubah kebiasaan kita ke new normal, kebiasaan-kebiasaan baru. 

Ada satu hal menarik yang dapat kita pelajari dari kebiasaan ini yaitu kemampuan beradaptasi. Sudahkah kita mampu beradaptasi dengan situasi di pandemi ini? 

Saya rasa ya, karena sudah setahun, kita mampu melewati keadaan sulit ini. Kita mungkin sudah terbiasa memakai masker, mencuci tangan, menghindari kerumunan, menjaga jarak, menjaga kesehatan, dan lain-lain.

Mengawali kebiasaan itu bukanlah sesuatu hal yang mudah dilakukan. Dibutuhkan kesadaran diri dan kedewasaan untuk memahaminya dengan bijaksana. Barangkali kita masih sering lalai karena tidak terbiasa. Namun, keadaan dan kesadaran diri 'memaksa' kita untuk belajar (learn) dan patuh (obey). Welcome to the new zone. Kita dibawa keluar dari zona nyaman.

Beradaptasi merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki manusia. Dengan kecerdasannya, manusia hanya membutuhkan waktu untuk dapat mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Oleh karena itu, persoalan adaptasi seharusnya tidaklah begitu sulit untuk diatasi. 

Yang menjadi persoalan adalah: apakah dalam menjalani hidup di masa-masa sulit ini kita masih setia dengan tujuan hidup kita? Ataukah kita mengubah tujuan hidup kita hanya untuk bertahan dari pandemi ini? Kalau kita menyerah semisal melakukan kejahatan atau bunuh diri, saya rasa kita tidak termasuk di golongan manusia yang mampu beradaptasi tanpa mengubah tujuan hidupnya.

Di pandemi ini, banyak hal yang secara langsung mengubah hidup kita. Aktivitas kita berubah 180 derajat. Kita bekerja atau belajar dari rumah, belajar menggunakan teknologi, mengendalikan diri untuk berdiam diri di rumah, mengurangi bepergian, terbiasa bersama dengan keluarga setiap hari dan lain-lain. Apa yang kita alami, mengubah apa yang kita lakukan. "What we do are changing!". 

Kita keluar dari zona nyaman dan beradaptasi pada hal-hal baru yang mau tidak mau harus kita lalui. Mengenai hal ini, saya rasa kita perlu belajar banyak dari kisah yang dialami oleh penderita covid dan penyintas covid. 

Apa yang mereka alami, tentunya telah mengubah apa yang akan mereka lakukan. Sama halnya dengan para tenaga kesehatan dan pemerintah.

Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa Anda melakukan apa yang Anda lakukan itu? Apakah dengan perubahan itu mengubah pertanyaan mengenai mengapa Anda seharusnya melakukan apa yang Anda lakukan? 

Kata 'seharusnya' di sini tentunya berkaitan dengan tujuan hidup Anda. Apakah pandemi ini mengubah tujuan hidup Anda melalui apa yang Anda lakukan? Saya rasa tidak. The 'why' is not changing. 

Anda adalah orang yang sama yang telah memiliki tujuan hidup awal. Panggilan hidup Anda seharusnya tidak berubah. Yang berubah hanyalah apa yang Anda lakukan. Situasi mengubah cara Anda memenuhi panggilan dan tujuan hidup Anda. Paling tidak, tujuan hidup untuk menjadi berkat bagi orang lain dan berkarya demi hidup yang semakin baik masihlah sama. Intinya adalah: the 'why' is not changing, the 'what' is changing!

Pandemi ini ibarat perjalanan (journey) kita bersama. Kita tidak sendirian. Kita mengalami apa yang dialami oleh orang lain. Orang lain merasakan apa yang kita alami. Kita berbagi emosi dan harapan. Oleh karena itu, seharusnya kita dapat berbuat lebih banyak, berkontribusi lebih besar, dan tidak  menyerah pada keadaan, apalagi menjadi pesimis. Mari kita bergerak bersama. Miliki pengharapan.

Seperti ungkapan yang menyatakan "There is always a light at the end of the tunnel". Dengan kata lain, selalu ada harapan di akhir kehidupan yang gelap dan kelam. Oleh karena itu, dalam perjalanan ini, mari kita ingat tujuan hidup kita. 

Prioritas kita masih tetap sama yaitu keluarga, anak, istri, suami, pekerjaan, dan masyarakat tempat tinggal kita, serta negara yang menaungi kita. Masing-masing individu memiliki prioritas yang berbeda-beda, namun dengan tujuan hidup yang lebih baik.

Banyak dari kita yang tidak siap menerima pandemi ini sebagai ujian hidup. Namun, tidak ada alasan untuk mengeluh dan menyerah. Semua orang butuh bimbingan dan pendampingan, terutama bagi mereka yang merasakan pandemi ini atau bahkan penyintas covid dan tenaga kesehatan yang harus berjibaku dengan penyakit ini. Mereka adalah orang-orang yang mampu bertahan hidup. 

Mereka butuh dukungan dari kita untuk melewati masa-masa ini, setidaknya menghargai usaha mereka dan mengikuti protokol kesehatan demi mengakhiri pandemi ini.

Pak Kresnayana Yahya bahkan pernah berkata, "Melayani dengan kepandaian agar tidak dibohongi orang, perbaiki sistem, tetapi sebagai pelayan masyarakat, harus melayani pakai mata hati, ingat Tuhan, dasar takut akan Tuhanmu." Melayani dengan mata hati adalah sebuah wejangan yang mudah dilakukan, namun sulit diterapkan. Berbuat kebaikan akan jauh lebih mulia daripada sebaliknya. 

Mari, di situasi pandemi ini, dalam setiap pekerjaan kita, kita melayani pakai hati, berbuat kebaikan untuk membantu sesama, perbanyak berdoa, tidak menjadi egois dan mengubah hidup kita demi tujuan-tujuan hidup yang lain yang tak berarti. Don't change why we do what we do!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun