Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Turut Serta

6 Maret 2023   13:17 Diperbarui: 6 Maret 2023   13:35 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Turut serta. Ini bisa ada dua kemungkinan. Turut serta dalam hal yang baik, atau turut serta dalam hal yang kurang baik. Kita manusia ini ada dalam diri kita empat unsur itu: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI. (4N, Kwadran Bele, 2011). Artikel ini muncul dalam situasi konkrit yang sedang saya alami saat ini. 

Turut serta. Ada kawan akrab saya yang sudah banyak berbuat baik bagi diri saya, sedang mengalami masalah. Entah benar atau tidak, saya cuma mengikutinya lewat media sosial. Begitu banyak komentar miring tentang kawan saya ini yang terhitung orang terpandang dalam masyarakat. Komentar positif sedikit sekali. Itu pun kalau muncul, langsung ditanggapi dengan nada sangat sinis, dicap penjilat, pengekor, kelompok komplotan jahat. Begitu banyak orang turut serta dalam hujatan terhadap kawan saya ini.

Turut serta. Waktu artikel ini saya tulis, saya turut serta dalam kelompok kecil yang membela kawan saya yang sedang terpojok ini. Saya tidak turut serta memojokkan. Kalau hukum orang Yahudi dahulu pada abad-abad sebelum dan sesudah Masehi, tercatat, orang yang bersalah berat dihukum rajam dengan batu di pintu gerbang kota sampai orang itu mati tertimbun bebatuan yang terlontar dari semua warga kota. Kawan saya sedang dirajam. Saya tidak turut serta merajam. Karena tidak sampai hati. 

Turut serta. Tiap kita manusia ini, saya, anda, dia, kita, sama-sama turut serta merajam atau tidak merajam sesama dalam kasus apa saja. Saya turut serta dalam orang-orang yang tidak merajam teman saya. Di pihak lain, banyak orang yang turut serta merajam teman saya. Yang netral, tidak ada. Kalau ada yang mengetahui ulah kawan saya ini dan tidak berbuat apa-apa, itu omong kosong. Tidak berkomentar pun sudah turut serta dalam tidak menghukum. Hanya ada dua kemungkinan. Turut serta menghukum atau tidak menghukum.

Turut serta. Mengapa saya tidak turut serta dalam mencerca dan mempersalahkan teman saya ini? Ada dua alasan mendasar. Pertama, dia, teman saya dan saya kenal baik diri dan latar-belakangnya serta posisi darurat yang sedang dia hadapi. Dia sudah dan sedang dirajam. NAFSU untuk turut serta menghukum, tidak muncul. NALAR saya beri pertimbangan untuk pikir dan pikir bahwa hari ini dia, besok atau lusa, diri saya pun bisa saja terjerumus pada masalah yang sama. 

NALURI saya membuat diri saya tidak tega turut serta menghukum karena teman saya sedikit banyak sudah pernah berjasa untuk saya. NURANI saya berbisik untuk menolong atas bermacam cara dan tidak boleh turut serta menghukum. Alasan kedua: kita manusia ini bukan malaikat. Pernah dan akan pernah jatuh dalam kesalahan entah besar atau kecil. Diri saya pun tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang sudah pernah saya lakukan dan kemungkinan besar di hari-hari nanti, tertimpa malapetaka dalam bentuk yang lain. 

Turut serta. Sebaiknya kita manusia ini turut serta berpikir yang baik bersama-sama, berkata yang santun serentak, berbuat yang luhur secara bergotong-royong dan beramal secara ikhlas terhadap sesama di hadirat Yang MAHA-AGUNG. Ini tidak berat. Turut serta berbuat yang baik, manfaatnya baik berlipat-ganda. Itulah tujuan kita hidup di dunia ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun