Ini akhiran, '-kah', bertanya, dilengkapi dengan tanda tanya '?' Hidup ini parah karena terlalu banyak pakai akhiran '-kah' di belakang begitu banyak kata. Sendiri ragu-ragu, tidak pasti, tanpa arah karena bertanya dan terus bertanya.Â
Kapan ada jawabannya. Baik kalau ada jawaban dan syukur kalau jawaban itu tepat dan berkenan. Bertanya. BerTanya apa saja. Hanya, kepada siapa bertanya? Dia tahu? Jangan sampai dia tidak tahu dan jawab sekedarnya saja dan jawabannya salah lagi, menyesatkan. Percuma akhiran '-kah' dipakai dan ditujukan kepada pihak yang sama-sama tidak tahu.Â
Bertanyalah kepada YANG MAHA-TAHU. Kepada DIA, bisa, boleh dan harus bertanya apa saja. Pasti ada jawabannya. Dan jawaban itu pasti benar karena DIA MAHA-BENAR.Â
Wah, kalau begitu saya, anda, dia, kita tidak boleh bertanya kepada sesama manusia? Langsung kepada TUHAN? Di sini letak soalnya.Â
Bertanya kepada sesama manusia, bolehkah? Boleh dan harus. Ini membingungkan. Di satu pihak bertanya langsung kepda TUHAN, di pihak lain boleh bertanya kepada sesama manusia. Mana yang benar? Dua-duanya benar. TUHAN menjawab lewat sesama. Oh.
Nafsu kita bertanya dan terpuaskan oleh jawaban dari Nalar yang disampaikan secara Naluri oleh sesama dan Nurani kita jadi tenang. Ini rentetan kerjasama antara empat unsur dalam diri kita, 4N, Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. (4N, Kwadran Bele, 2011).
Hidup jadi rumit karena sering bertanya tentang apa yang tidak perlu ditanyakan. Akiran '-kah' dipakai tidak pada tempatnya.Â
'Apakah saya harus kasihi orang yang selalu buat susah saya?' Ini jawabannya sudah ada. Harus. 'Apakah saya harus hargai orang lain padahal dia tidak hargai saya?' JawabannYa tidak bisa ditawar-tawar. Harus. Ini jawaban dari mana, dari siapa? Dari SURGA, dari TUHAN.