Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidup dari Sudut Filsafat (23)

7 Maret 2021   18:48 Diperbarui: 7 Maret 2021   20:22 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hidup itu hidup. Yah, mana mungkin hidup itu mati. Hidup itu dari sumbernya yaitu TUHAN Yang hidup, jadi pasti dan harus hidup, tidak mungkin mati. Lalu mati. Mati itu dari mana? Apakah DIA, TUHAN ciptakan juga yang mati? TUHAN matikan yang hidup? Yang nyata, tumbuhan hidup lalu mati. Hewan hidup lalu mati. Manusia, kita ini juga hidup lalu mati. Berarti hidup itu hidup tapi pada saatnya hidup itu mati juga. 

Bagaimana? Kita cari jawaban bersama. 

TUHAN beri kita manusia yang hidup ini Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani. (4N, Kwadran Bele, 2011). Segala bahan dalam alam tersedia untuk dipakai manusia supaya hidup. Ini peran Nafsu. Segala upaya ditempuh untuk menggunakan bahan-bahan dalam alam ini untuk menyambung hidup. Ini karya Nalar. 

Segala rasa dikerahkan untuk sambung rasa dengan sesama supaya sama-sama hidup. Ini karya Naluri. Segala pertimbangan dipakai untuk menyaring setiap tindakan supaya jangan merusak tetapi tetap lestari, menjaga hidup yang ada dalam alam terutama dalam diri manusia agar tetap utuh. Ini karya Nurani. 

Hidup itu hidup karena kita manusia alami sendiri bahwa diri kita hidup oleh dorongan Nafsu, pertimbangan Nalar, jaringan Naluri dan pertimbangan Nurani. Hidup tidak sendirian. 

Secara kasat mata, kita lihat dan alami, kita manusia hidup, hewan hidup dan tumbuhan hidup.  Hanya tiga ini yang hidup. Semua yang lain di sekitar kita itu mati dengan bukti, tidak berkembang, tidak berpindah, tidak berpikir. Itulah batu, kayu, debu. Jadi mati. Itu yang kita lihat, kita alami. Tumbuhan kering, hewan mati, manusia meninggal. Itu yang disebut mati. Jadi hidup tinggalkan kayu jadi kering, hewan jadi bangkai, manusia jadi jenazah. Itu yang disebut mati. Hidup hilang dari ketiga makhluk ini? Ke mana larinya hidup itu? Hilang begitu saja atau kembali ke kesatuannya yang disebut hidup itu? Atau kembali ke Pemberi, TUHAN? Tidak. Hidup itu tetap ada. Bukti? 

Batang tumbuhan yang kering dan lapuk menjadi pupuk kehidupan untuk tumbuhan baru. Bangkai hewan menghidupkan lagi hewan-hewan yang lain. Badan kita manusia yang jadi jenazah memang berubah menjadi debu tetapi Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani tetap ada dalam bentuk tak kelihatan yang tidak terikat dengan tempat dan waktu. Tapi ada, tetap ada dan hidup. Itulah yang dalam rumusan kesadaran akan adanya TUHAN, kita manusia ini diyakini menanti akhir zaman pada saat ada kebangkitan badan. Hidup yang hidup itu dibaharui oleh PEMILIK-nya. Kapan, bagaimana, sudah di luar kemampuan Nalar kita untuk memahami.

Jadi hidup itu hidup. Tidak ada kematian. Hidup tidak hilang. Hidup tidak berhenti. Hidup tidak berpindah. Hidup itu berubah menuju kesempurnaan dan kembali bersatu dengan YANG MAHA SEMPURNA, TUHAN. 

Karena itulah saya, anda, dia, kita, jangan sekali-kali sia-siakan hidup yang hidup dalam diri kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun