Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pipit dari Sudut Filsafat

9 Agustus 2020   20:43 Diperbarui: 9 Agustus 2020   20:45 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pipit itu burung kecil yang harganya tidak seberapa. Pipit yang nama ilmiahnya, 'Passer domesticus' hidup ratusan ekor sekelompok, terbang per rombongan cari makan sama-sama. Abad sepuluh sebelum Masehi burung pipit sudah masuk dalam Kitab Suci, Mazmur 84:4 tentang kecil dan kurang berarti tapi dipelihara oleh Allah dan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, abad pertama Masehi, burung pipit ini disinggung lagi dalam kaitan dengan penyelenggaraan Tuhan atas hidup manusia, pipit saja dipelihara, apa lagi kamu manusia (Mat 10:29). 

Pipit ini ratusan ekor terbang memenuhi udara, tidak pernah bertabrakan. Pipit ratusan ekor mendatangi sawah orang, makan padi sepuasnya kalau tidak dihalau, tidak bertengkar. Pipit makan padinya dan tangkai bulir padi diambil untuk membuat sarang. Mereka merasa tidak bersalah. Padahal tuan sawah gelisah padinya digasak di siang  bolong oleh ratusan pencuri kecil yang ramai-ramai bersenang-senang karena kenyang. Apakah ini caranya PENCIPTA pelihara mereka?

Manusia mempunyai NAFSU untuk memperoleh makanan dari bersawah, mendapat gabah, jadi beras, jadi nasi. Ini dihambat oleh adanya segerombolan pipit. Manusia mau hidup, pipit juga mau hidup. 

Sama-sama mau hidup. Inilah dorongan NAFSU. Karena pipit dianggap hama maka manusia memakai NALAR untuk mencegah dengan memasang orang-orangan untuk menyiasati pipit, memasang jerat, memasang bunyi-bunyian, mengejutkan pipit, mengusir pipit. NALAR dalam kadar yang sederhana ada juga dalam pipit. 

Dia datang pada saat orang-orangan lama tidak bergerak, saat bunyi-bunyian tidak berdentang. NALURI manusia mendorong manusia untuk mengumpul tetangga untuk cepat menyabit padi sebelum habis ditotok pipit. Semua pesawah beramai-ramai potong padi. NURANI manusia bersyukur kalau padi sudah dipanen tanpa terlalu menggerutu atas lenyapnya padi beberapa bakul masuk tembolok pipit jenaka. Tanpa sadar manusia turut memelihara pipit yang oleh PENCIPTA ditegaskan bahwa DIA-lah YANG memelihara pipit itu tanpa mengungkapkan pipit mencuri padi milik petani. 

Dari bisikan NURANI, manusia tidak sampai hati mengutuk PENCIPTA, mengapa menciptakan pipit yang merugikan petani. Kerjasama antara empat unsur dalam diri manusia, 4N, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI (Kwadran Bele, 2011) menghasilkan rasa syukur kepada PENCIPTA atas adanya padi dan rasa pemaaf kepada ciptaan, pipit yang kecil ini, sehingga setiap karya ada tantangannya termasuk pipit pengganggu petani yang siap panen padi. 

Pipit jadi penantang petani dan penguji iman petani untuk tidak berputus asa dan tidak mengutuk. Petani yang padi di ladang atau sawahnya sedang menguning, masih bisa tidur nyenyak di malam hari karena  pipit sudah diatur oleh PENCIPTA untuk istirahat juga di malam hari. Siang hari, NAFSU manusia membuat manusia marah dan gelisah sesaat, tapi NALAR membantu untuk mengurangi kerugian yang disebabkan oleh pipit, NALURI manusia memberi jalan untuk secepatnya memanen padi dan NURANI manusia akhirnya tetap bersyukur kepada PENCIPTA bahwa nasi akhirnya ada di piring sebagai rezeki penyambung hidup. Hidup pipit dan manusia sama-sama tersambung. Puji TUHAN.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun