Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Mau" dari Sudut Filsafat

7 Agustus 2020   08:13 Diperbarui: 7 Agustus 2020   08:07 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mau apa? NAFSU. Mau bagaimana? NALAR. Mau dengan siapa? NALURI. Mau untuk apa? NURANI. Hidup ini dari saat ke saat didorong oleh mau. Kita mau apa, bagaimana, dengan siapa, untuk apa menjadi daya dorong sekaligus daya tarik untuk mengisi hidup dari hari ke hari dan seluruh masa lampau terisi dengan mau yang dipenuhi dan tak dipenuhi karena mau diganti dengan mau yang lain. 

Manusia mau itu tetapi terjadi yang ini di luar yang ia mau karena keterbatasan dari NAFSU yang kurang disadari,  NALAR yang kurang memperhitungkan daya ingat dan daya takar, NALURI yang terbatas dalam mengenal sesama dan NURANI yang terbatas daya jangkaunya ke dunia rohani.

Mau ya mau. Tapi yang terjadi, tidak persis yang di-mau-i. Mau lain terjadi lain. Mau tidak persis terjadi yang di-mau-i karena tadi itu, keterbatasan. Yang mau itu manusia, diri. Yang di-mau-i itu masih di luar diri dan mau dimasukkan dalam diri sebagai bahagian dari diri. 

Proses mau yang men-diri ini terjadi karena mau dari diri sendiri. Saya mau jadi dokter, mau jadi tentara, mau jadi pilot, mau jadi bupati, mau jadi guru. Ini mau dari seorang anak SD. Begitu banyak mau sampai orang tua yang dengar bingung, cuma tertawa karena anak ini punya mau banyak sekali dan tidak tahu apa akan terjadi nanti dengan yang dia mau itu. 

Ternyata anak ini mau itu, mau ini karena lihat ini lihat itu dan mau semua. Ini NAFSU. Dalam perkembangan NALAR mengizinkan untuk mau semua tapi harus pilih salah satu, ternyata daya NALAR-nya cocok untuk jadi guru. Mau yang lain hilang tertelan waktu dan tempat. 

Anak itu terpengaruh oleh lingkungan di mana guru sangat dihormati maka NALURI-nya begitu kuat bergetar untuk jadi guru. Sesudah jadi guru,  NURANI anak itu  damai dan tenteram lalu dia meyakinkan diri bahwa jadi guru itu panggilan. 

Panggilan dari siapa? Dia yakin panggilan dari TUHAN. Di sinilah letaknya peranan empat unsur dalam diri manusia, 4N: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI (Kwadran Bele, 2011) yang memampukan manusia untuk MAU apa saja (NAFSU) dengan cara yang benar (NALAR) lewat bantuan orang lain (NALURI) sesuai dengan kesadaran yang diyakini sebagai panggilan (NURANI). 

Sejauh mau itu baik, benar dan berguna, lalu terpenuhi, yakinlah itu sesuai dengan yang  TUHAN mau sehingga mau-nya kita manusia sama persis dengan mau-nya TUHAN. Jangan pernah berpendapat, saya mau lain, TUHAN mau lain.

Mau yang saya mau itu tergantung penuh pada saya. Orang lain itu hanya membantu. Jangan kita persalahkan orang lain dengan bela diri, saya mau ini tapi orang tua yang mau itu sehingga saya ikut orang tua punya mau bukan saya punya mau. 

Kalau perasaan ini membawa ketenangan, syukur. Kalau perasaan ini membawa kegelisahan terus-menerus, maka hidup menjadi sengsara karena tetap dalam pertentangan antara mau dari diri dan mau dari orang lain. Carilah kedamaian dalam DIA YANG mempunyai MAU yang indah untuk semua manusia yang atas MAU-NYA DIA, ada di dunia ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun