Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sumpah dari Sudut Filsafat

13 Juli 2020   19:45 Diperbarui: 13 Juli 2020   19:42 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia bersumpah dalam hal yang sangat penting  di hadapan sesama dan Tuhan untuk melaksanakan isi sumpah itu. Ada rumusan sumpah, ada cara sumpah. Ada cara mengangkat jari, ada cara meletakkan tangan di atas Kitab Suci. Saksi biasa didatangkan pemuka agama. Ini sumpah jabatan. Ada juga sumpah janji antara orang atau kelompok. Ada sumpah serapah, itu kutukan penuh amarah, mengundang bala ke atas orang yang dibenci. 

Di kalangan masyarakat suku Buna' di pulau Timor, masih ada dua macam sumpah, sumpah minum darah dan sumpah makan tanah. 

Sumpah minum darah sudah tidak dilaksanakan lagi, tapi tahun 50-an penulis sebagai anak kecil, masih saksikan. Ketua adat dari dua suku yang berbeda, masing-masing mengiris jari telunjuk kanan dengan sembilu, kulit bambu suling, meneteskan beberapa tetes darah itu ke dalam satu tempurung kelapa, semacam alat minum yang biasa dipakai di rumah-rumah, dalam tempurung itu sudah ada sopi, minuman keras, lalu diminum bergantian, dengan ucapan, siapa yang melanggar isi sumpah ini, dia dan turunannya akan mendapat celaka bahkan kematian. Sumpah makan tanah biasa dibuat oleh seseorang untuk membela diri, 

'Saya makan tanah ini,' (sambil mengambil sejemput debu) dan menaruhnya dalam mulutnya sendiri, 'kalau benar apa yang kamu tuduhkan kepada saya' (misalnya mencuri), 'saya akan mati'. Semua yang hadir mengiakan dan percaya bahwa orang ini jujur, tidak berbuat hal jelek yang dituduhkan kepadanya.

Sumpah, apa pun maksud dan caranya, sebenarnya suatu tindakan penuh kepercayaan pada diri dan orang lain di hadapan Tuhan, bahwa diri yang bersumpah itu mau setia, taat, jujur dalam melaksanakan isi sumpah. Mau. Berarti akan. Berapa banyak pelanggaran yang terjadi di masyarakat terhadap sumpah yang dibuat orang? Isi sumpah, jelas. Ada tanda, jelas. Ada saksi. Dan yang paling tinggi, mengundang Tuhan untuk menjadi saksi. 

Kita bertanya, kalau di Indonesia ini begitu banyak sumpah itu ditaati, maka tidak ada lagi kasak-kusuk tentang penyalah-gunaan jabatan dan uang. Sumpah itu sebenarnya muncul dari NAFSU seseorang untuk memegang jabatan secara sah dan benar. NALAR orang yang bersumpah itu jelas sudah mempertimbangkan segala konsekwensi dari isi sumpah itu. 

NALURI yang mengangkat sumpah sadar bahwa tanggung-jawab terhadap masyarakat yang dilayani, ada di pundaknya. NURANI orang yang bersumpah itu memohon Tuhan untuk membantunya dalam melaksanakan isi sumpah itu. (Bdk. 4 N, Kwadran Bele, 2011).

Sumpah itu perpaduan antara NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI dalam diri seorang yang tampil gagah perkasa di hadapan banyak orang dan di hadapan Tuhan untuk menjadi pribadi pengabdi masyarakat. Sumpah tradisional suku Buna' dan sumpah modern zaman ini, maknanya sama. Mengendalikan NAFSU, menjernihkan NALAR, melapangkan NALURI, menenteramkan NURANI. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun