Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nepotisme dari Sudut Filsafat

13 Juli 2020   15:23 Diperbarui: 13 Juli 2020   15:27 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Orang Yunani punya kata, 'nepote' berarti, 'ponakan'. Dari kata inilah muncul istilah 'nepotisme' yang mempunyai arti yang negatif, yaitu: seorang yang berwenang, menentukan para sanak keluarganya untuk jabatan di sekitarnya supaya dia aman untuk berbuat sesuka hati. 

Semua bentuk NAFSU terhimpun dalam perilaku yang satu ini, mempertahankan kekuasaan karena semua orang sekitarnya itu adalah keluarganya, mulai dari anak, adik-kakak, ponakan, ipar dan ipar punya ipar, pokoknya ada hubungan keluarga, diberi jabatan, kalau jabatan masih kurang, diciptakan jabatan baru. Semua pejabat adalah lingkaran kekuasaan yang melindungi diri 'sang pejabat puncak'. Ini NAFSU kuasa. 

Lalu dari segi NALAR, kurang diperhitungkan karena orang-orang dekat itu punya 'otak' atau tidak, duduk, jadi pejabat. Ada bisikan NALAR, dia ini kurang mampu, pengetahuan kurang, pengalaman apa lagi, lebih kurang lagi. Tidak apa. Pokoknya keluarga. NALURI berontak juga karena ada serangan dari berbagai pihak yang bukan keluarga, tetapi bisikan NALURI itu ditekan habis-habisan, yang penting kamu lain saya tidak percaya, hanya keluarga dekat saja yang saya percaya, mau apa? Ini  bisikan NALURI dalam apa yang disebut nepotisme. 

Muncullah NURANI dengan bisikan, orang lain yang lebih mampu untuk jabatan ini juga sama-sama ada hak dan TUHAN tidak berkenan dengan menyingkirkan sesama yang pantas menduduki jabatan ini. Bisikan NURANI ini langsung diberangus, diam, masalah kuasa ini bukan urusan NURANI, urusan rohani itu urusan TUHAN dalam diri para pemimpin Agama, saya bukan orang Agama. 

Empat unsur ini, NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI kurang atau malah tidak dipakai dalam seorang yang mabuk kuasa dan tetap mau berkuasa, gila harta dan tetap mau bergelimang harta. (4N, Kwadran Bele, 2011).

Inilah badai pergolakan bathin seorang yang berlagak sok kuasa. Kalau kuasa dikejar, maka dengan sendirinya harta dikeruk lewat jalur keluarga. Kalau ini urusan pribadi, tidak ada soal, tapi urusan umum, kepentingan umum dipakai untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Lengkaplah 'trio' yang disingkat namanya dengan tiga huruf, 'KKN', Korupsi, Kolusi, Nepotisme. 

Yang namanya kejujuran, keadilan, kedamaian, tidak ada dalam benak orang-orang yang getol dengan sistim KKN. Upaya-upaya pemberantasan KKN di seluruh dunia, termasuk di Negara kita Indonesia, terus digalakkan, tetapi kalau diri pribadi kita-kita ini tidak sadar akan keutuhan '4N', percuma. Masih ada harapan. Harap Negara kita segera berubah, bersih dari KKN.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun