Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kolusi dari Sudut Filsafat

13 Juli 2020   12:46 Diperbarui: 13 Juli 2020   13:17 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Orang Latin punya bahasa, 'ludere' artinya bermain, 'lusus' artinya permainan. Kalau lebih dari satu orang bermain, maka ditambah kata 'co-' maka jadilah bermain bersama, 'coludere', permainan bersama, 'colusi'. Kata ini maknanya bagus, bermain, bergembira. 

Tapi kalau dikaitan dengan sahabatnya, 'korupsi' maka bermain menjadi bermain dalam arti yang sangat buruk, mempermainkan orang atau barang orang. Akibatnya merugikan orang lain. 

Secara filsafat, 'kolusi' ini dapat ditinjau dari '4N' (Kwadran Bele, 2011). NAFSU seseorang bersama beberapa orang biasa-biasa saja, mencari rezeki. Cari barang, cari uang, cari kesempatan untuk memenuhi kebutuhan yang muncul dari NAFSU. 

Di sebuah kantor milik pemerintah, ada anggaran untuk pengadaan alat-alat, seperti laptop, dan berbagai alat tulis. Anggaran ratusan juta. Seorang kepala bagian umum dipercayakan untuk memesan dan membeli barang-barang ini. 

Bermainlah sang kepala ini dengan beberapa orang di kantor dan orang-orang pedagang barang kantoran itu dan ada kwitansi asli dan palsu. Harga seratus ribu ditulis dua ratus ribu. 

Begitu banyak item dipermainkan harga atas cara ini yang dikenal 'mark-up', menaikkan harga suka-suka. Permainan seperti inilah yang dinamakan 'kolusi'. 

Uang dicuri beramai-ramai maka 'korupsi' terjadi, sehingga dua saudara kandung ini menjadi hasil NAFSU orang-orang di kantor itu yang berakibat pada kerugian kantor puluhan juta rupiah. Keinginan di luar batas itu disebut NAFSU yang tidak teratur, salah jalan, salah arah. 

Kalau NAFSU sudah menggebu-gebu, NALAR pun dibujuk untuk cari akal supaya curi uang ini tidak kentara. NALAR setuju saja karena lihat keuntungan yang diperoleh, banyak, biar pun di luar kewajaran. 

NALURI memberontak, 'Eh, jangan, rugikan orang lain, rugikan kantor', dijawab, 'Hei, pusing apa, kantor ini uang banyak. Kita ambil sedikit saja'. Suara NALURI dipasung. 

Sementara itu NURANI berbisik, 'Aih, ini sudah tidak benar lagi, salahi aturan, tipu kantor, dan aih, TUHAN pasti lihat.' NURANI dibujuk dengan kata-kata manis, 'Hanya kali ini saja, ini memang salah, tapi besok lusa tidak lagi'. Tahu-tahu, karena sudah kebiasaan, bisikan NURANI dibungkam dan rentetan kolusi demi kolusi berjalan terus.

Jadi kolusi itu permainan bersama untuk menipu dan mencuri barang orang lain, uang orang lain. NAFSU mendorong, NALAR menyetujui, NALURI mendiamkan dan NURANI memaafkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun