Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ma`la

1 Juni 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:41 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rombongan peziarah Turki berhenti di depan saya. Sekitar lima belas orang dengan pakaian seragam. Para lelaki memakai celana panjang dan baju kokoh krem. Di atas kantong dada kanan terjahit bendera kebangsaan mereka: bulan sabit dan bintang putih dengan warna dasar merah. Saya taksir usia mereka tidak ada yang lebih dari tiga puluh. Kecuali  pria berjanggut putih, betongkat dan sering batuk.  Para wanita tampak anggung dengan gamis krem yang kelihatan benar ukuran yang dipakai hasil dari jahitan yang dipesan sesuai ukuran badan. Beberapa wanita membeli bungkus-bungkus plastik putih berisi gabah dari wanita tua imigran Afrika yang memang mangkal di tempat ini. Setelah membagi bungkusan plastik gabah dengan para lelaki, mereka menebar gabah itu ke lapangan yang sudah menunggu ratusan burung merpati. Sejurus kemudian, telinga saya dengan jelas mendengar kepak sayap-sayap merpati berebut makanan sorenya.

Pria tua berjanggut putih, bertongkat, dan sering batuk, maju agak ke depan dari rombongan. Setelah kedua tangannya terangkat, dia berdehem agak keras seperti ingin berdamai dengan rasa gatal yang merasuki tenggorokannya. Usaha pria berjanggut putih sepertinya berhasil. Tidak terdengar lagi batuk dalam waktu yang lebih lama. Dia dengan lancar memimpin doa kendati dengan suara parau.

Sebenarnya tempat ini bukan lokasi pemakaman. Cuma taman kecil yang berada di pinggir jalan Umar bin Khattab, satu kilo setengah dari Masjidil Haram, Mekkah. Hanya tiga bangku panjang penghuni taman, termasuk yang saya duduki saat ini. Masing-masing bangku ditemani lampu penerang yang bentuknya mirip orang yang sedang ruku.

Namun, dari sini, pemakaman Ma`la bisa terlihat jelas lantaran tekstur tanah yang agak tinggi. Jejeran batu sebesar kepala manusia tersusun rapi sebagai penanda tiap kuburan. Tidak ada batu nisan sebagai keterangan siapa penghuni kuburan. Tanpa gundukan tanah apalagi ukiran batu bertingkat. Peziarah-peziarah Turki tadi bisa jadi memilih berdoa dari sini karena pemerintah negara ini melarang perempuan masuk ke dalam pemakaman. Malang memang kaum hawa di negara ini, terlalu banyak belenggu yang diatasnamakan perintah agama. Jangankan masuk pemakaman, menyetir mobil juga dilarang. Ah, tiba-tiba saya ingat buku The Girls of Riyadh serta reaksi paranoid pemerintah dan ulama-ulama Arab Saudi.

Saya teguk botol Pepsi sambil melihat jam di baliho besar bergambar ponsel anroid Samsung model terbaru. Masih setengah jam lagi dari waktu perjanjian. Sengaja saya datang lebih awal lantaran ingin jalan kaki menyusuri jalan-jalan di kota yang hampir tiga tahun tidak saya kunjungi lagi.

Sebenarnya kalau tidak ada ibu dalam pertemuan, tidak mungkin saya datang ke sini. Sepertinya Haris, kakak saya, sengaja mengajak ibu biar saya tidak bisa mengelak. Tiga tahun sudah, atau mungkin lebih, saya menghindar bertatap muka dengannya. Ajakan bertemu saat saya di Indonesia atau ketika dia berkunjung ke Mesir, selalu saya tolak dengan alasan yang tentu saja saya buat-buat. Bahkan tradisi berkumpul dengan seluruh keluarga saat lebaran pun saya hindari. Seminggu setelah lebaran, baru saya pulang untuk sungkem ke ibu dan bertemu sanak saudara selain Haris.

Entah tahu dari mana keberadaan saya di kota ini, kemarin pagi Haris mengirim pesan pendek: Ibu munyuruh kamu berziarah di Ma`la besok. Ba`da ashar. Keperluan saya di kota ini sebenarnya hanya menjenguk teman saya yang sakit keras. Dia warga negara Arab Saudi yang rumahnya di Jumaizah, tidak sampai setengah jam berjalan kaki dari sini. Besok sore rencananya saya kembali ke Kairo naik bis dan mungkin mampir di Yordania sekedar sowan ke mantan dosen saya di Al-Azhar.

Saya menghela nafas panjang bersamaan dengan selesainya para peziarah Turki berdoa. Tidak sampai sepuluh langkah dari kepergian mereka, wanita tua penjual gabah gegas mengusir burung-burung merpati guna memungut kembali gabah yang belum sempat termakan. Dengan plastik baru yang dikeluarkan dari tas tangannya terkumpul dua bungkus gabah kemasan baru. Mengetahui saya tertawa, wanita tua itu mengangkat bola matanya sesaat lantas menutup sebagian wajahnya dengan jubah hitamnya.

Sambil menaruh punggung ke sandaran bangku saya amati rumah dan hotel yang menumpuk di tepi gunung batu. Sangat padat serupa tumpukan buku di lemari yang sempit. Bahkan pada beberapa bagian, bangunan sampai tengah dan puncak gunung. Ah, bagi saya kota ini terkesan angkuh. Tidak sedikit saya jumpai di beberapa titik pinggir jalan, buldozer sibuk membelah gunung batu, menyulap tepi gunung menjadi permukaan yang datar. Sepertinya kota ini haus dan tergesa akan kehadiran hotel-hotel baru guna menampung rencana pelebaran Masjid Haram yang tiga kali besarnya dari sekarang. Saya tahu informasi ini tersebab kemarin berkunjung ke Museum Mekkah dan melihat maket kota yang begitu wah. Ah, teknologi sepertinya tidak pernah kehabisan akal untuk menundukan kondisi alam sesulit apapun.

***

"Kapan kamu pulang, Dhan?" Tanya ibu setelah Haris selesai memimpin doa.

"Belum tahu, Bu.."

Setelah mendengar jawaban saya, Ibu berpaling. Dipandanginya deretan kuburan paling ujung yang dipisahkan pagar dari besi. Di sana terdapat makam wanita paling mulia sekaligus istri pertama Nabi Muhammad, Siti Khadijah. Juga pembesar-pembesar suku Quraish termasuk Abdul Muthalib. Ibu lantas menerawang  hampir setiap sudut dari makam Ma`la. Sepertinya dia ingin sekali mengetahui persis di mana makam suaminya yang menjadi salah satu korban dari tragedi terowongan Mina di tahun 1990 silam.

"Untuk apa di negeri orang begitu lama? Kuliahmu sudah selesai lima tahun lalu. Pulanglah.." Sejurus ibu menatap Haris yang dibalas dengan senyuman. Ah, saya merasa ini kalimat titipan dari Haris. Buat apa dia mengurusi kehidupan saya? Belum puaskah dia merenggut sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup saya? "Banyak tempat di kampung sendiri yang membutuhkan hasil pendidikanmu, Dhan. Kalau tidak mau repot, kau bisa di tempat Haris, pasti ada tempat yang cocok buatmu."

"Jelas itu!" Cepat benar respon Haris atas ajakan ibu.

Makin yakin saya dialog ini sudah direncanakan terlebih dahulu.  Saya memilih diam sekaligus meredam sesuatu yang bergejolak di dada saya. Ingatan saya terseret pada peristiwa di mana Haris dengan bangganya berhasil merebut yang sebelumnya milik saya. Ibu tidak pernah tahu bagaimana liciknya Haris. Dia terlanjur menjadi anak kesayangan lantaran mengganti peran bapak dalam urusan ekonomi. Posisinya di Kementrian Agama sebagai penentu tender dalam urusan hotel, katering, tranportasi jamaah haji membuatnya hidup mewah. Kemewahan yang melahirkan kejemawaan. Biarlah, tidak perlu saya katakan pada ibu bahwa di Kairo saya sedang merintis bisnis dengan toko-toko olahraga memasok bola sepak buatan Majalengka.

"Kapan kamu kembali ke Kairo?" Ibu bertanya sambil tangannya mengusap rambut saya.

"Besok.."

"Menginaplah dulu di tempat Haris."

Sebentar saya tatap wajah Haris. Dia tersenyum dan mengangguk. Ah, di hatinya saya yakin dia menertawakan momen ini. Lagi-lagi napas saya ambil agak dalam agar ketukan di dada tidak terlalu kencang. Biarlah, toh hidup hanya kumpulan hari. Kalau sekarang masih terasa sakit, nanti di lembar berikutnya pasti hilang sendiri.

Saya tolak ajakan ibu dengan sangat sopan. Lalu tangannya yang mulai keriput saya cium lama sekali. Saya minta didoakan hanya beberapa senti dari telinganya. Dia mengangguk dan titik air di ujung matanya mengintip.

Haris memberi telapak tangannya sebelum saya pergi. Senja yang bersinar tepat dari belakang tubuh Haris membuat mata saya tak jelas melihat wajahnya. Tangannya saya biarkan mematung ketika saya melangkah dari tempat itu. Detak jantung di dada semakin kencang  saat mendekati mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Kaca depannya terbuka setengah. Wanita yang duduk di samping stir kaget melihat saya berdiri di sampingnya. Bayi yang ditaruh di pangkuan menangis lantaran tubuh ibunya seketika bergoncang. Meski pakai cadar, tapi bisa saya pastikan itu adalah Nisa yang sebelum nikah dengan Haris menjadi pacar saya selama hampir dua tahun.

Di hitungan langkah ke delapan telinga saya tidak lagi mendengar tangisan bayi.

***

Jakarta, 1/6/2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun