Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Mikail The Karate Kid

19 Oktober 2013   05:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: MAMAR: no 44

“Pokoknya aku harus nonton!

Segera aku tinggalkan ibu. Sebelum pintu kamar aku tutup dengan kasar, kulihat ibu mengelus dada sambil menggelengkan kepala. Ah, aku tidak peduli.

Aku ingin sekali nonton film The Karate Kid. Tadi siang saat nonton televisi ada cuplikannya. Dua hari lagi akan tayang di kotaku. Saat kubilang ingin menontonnya, ibu memang diam saja, tapi tampaknya enggan memenuhi permintaanku.

Padahal, sepertinya, film itu seru sekali. Aksi bela diri pemeran utamanya keren. Anak kecil berkulit hitam dengan rambut dikuncir kecil-kecil. Badannya terlihat kerempeng memang. Tapi gerakan silatnya luar biasa. Gesit juga bertenaga. Apalagi yang menjadi guru silatnya itu Jackie Chan, bintang film kung fu kesukaanku.

“Mikail, Mikail…”

Sayup suara ibu terdengar dari belakang pintu. Tidak tertarik aku untuk membukanya.

“Buka dulu, nak.”

Kurebahkan tubuh di atas kasur.Guling aku peluk sambil memunggungi pintu kamar. Aku masih kesal. Permintaanku selalu tidak dipenuhi.

Sebenarnya, tanpa ibu beri tahu, aku sudah menduga apa yang membuat dia begitu. Jibril dan Malik, keduanya adikku, tidak bisa lepas dari tangan ibu. Terlebih Jibril yang baru bisa berjalan beberapa langkah.Mpok Omah, pembantu kami, sudah tidak bekerja lagi. Apa-apa dikerjakan ibu. Mencuci, menggosok pakaian, memasak dan membersihkan rumah. Mungkin kalau ibu mengantar aku nonton, siapa yang menjaga adik-adikku?

Huh, ini semua terjadi setelah ayah pindah kerja. Bahkan, mobil kami yang ada AC-nya juga diganti dengan mobil butut dan tidak ber-AC. Makan bareng di restoran pada akhir pekan juga kini jarang. Meski begitu, bukan berarti aku tidak bisa menikmati hiburan sama sekali dong.

“Kamu boleh kok nonton, Mika..”

Tidak begitu jelas suara itu mengetuk telingaku. Guling segera kulempar ke lantai. Tidak lama kemudian telingaku sudah seinci dengan daun pintu. Aku ingin memperhatikan benar suara yang mungkin diucap kembali. Beberapa detik berlalu. Aku masih setia menunggu.

“Oh, jadi kamu tidak mau nonton film itu ya?” Kini suara ibu lebih nyata dari sebelumnya.

Secepat kilat pintu kubuka. Aku mendangak dan tampak wajah ibu tersenyum. Setengah berteriak aku bilang, “Mauuu…”

“Ibu gak bohong, kan?”

Ibu menggeleng pelan. Senyumnya terlihat lebih manis. Kurasakan tangan ibu mengusap halus rambutku. Kemudian tangannya menuntunku ke tempat tidur.

“Jibril dan Malik bagaimana, Bu?”

“Nanti ibu titip Mbak Sinta, dia pasti senang dititipi adik-adikmu.”

Mbak Sinta itu tetanggaku yang belum memilliki anak. Dia sudah seperti saudara sendiri. Tanpa dipinta, kadang dia dan suaminya mengambil Jibril dan Malik ke rumahnya. Diajak main. Di beri makan. Kadang tidur di sana. Malah beberapa kali diajak jalan-jalan ke mal.

“Tapi ada syaratnya, lho.”

Aku merengut. Bibirku maju satu senti. Tapi saat teringat betapa inginnya aku melihat aksi The Karete Kid, senyumku mengembang.

“Apa syaratnya, Bu?” Aku pasang wajah memelas. Berharap syaratnya tidak begitu berat.

“Mulai sekarang, Ibu mau kamu menaruh semua peralatanmu di tempat seharusnya. TANPA DISURUH! Mudah, bukan?”

Aku mengangguk cepat. “Hanya itu?”

“Ya, hanya itu.”

Hehe, mudah sekali. Aku memang selalu menaruh semua barang yang telah dipakai secara sembarangan. Pulang sekolah contohnya. Setelah masuk rumah, tas aku lepas begitu saja di lantai. Juga sepatu. Baju kadang kulempar ke sofa. Langsung nonton televisi atau setel game di komputer. Beberapa menit kemudian, setelah ibu melihat barang-barangku yang berantakan, menyuruh aku merapikannya. Begitu tiap hari. Padahal, tiap hari juga aku berjanji tidak mengulangi.

Setelah kami sepakat, ibu mematikan lampu kamar. Senangnya hatiku hingga malam itu tidurku nyenyak sekali.

***

Dugaanku meleset. Di hari pertama, setelah pulang sekolah, tetap sepatu dan tas aku letakan di lantai. Baru sadar setelah ibu berdehem berkali-kali sembari melihat tas, baju, dan sepatu yang berantakan.

Di waktu sore, ibu berteriak memanggil namaku dari dalam kamar mandi. Pasta gigi tidak aku tutup kembali setelah dipakai. Juga sampo tergeletaktanpa ditutuphingga isinya berceceran. Tidak itu saja, air kran lupa aku matikan padahal telah luber penampung air.

Sebelum masuk kamar hendak tidur, ibu kembali berdehem, ujung matanya mengarah ke mobil-mobilan Hot Wheelsyang masih berserakan. Tentu aku tunda masuk kamar. Menaruh mainan itu di tempatnya.

Di hari kedua tidak jauh berbeda. Meski ada beberapa yang aku ingat tapi lebih banyak lupanya. Akhirnya aku sadar: mengubah kebiasaan tidaklah mudah.

“Wah, besok jadi tidak nonton ya? kayaknya persyaratan dilanggar terus nih.” Sambil membuat susu untuk Jibril ibu berkata begitu.

Aku tidak bisa menjawab. Bibirku seperti terkunci. Impian untuk menonton The Karete Kid mulai pupus.

“Tidur sana..”

Aku sadar ibu memperhatikan wajahku yang cemberut. Malas aku menatapnya. Perintah tidur jelas berarti mengubur impianku. Saat melewati ibu, tangan aku dipegang. “Tenang, besok kita jadi nonton kok.”

Jangan ditanya bagaimana senangnya hatiku. Kupeluk ibu dengan erat. Erat sekali.

“Beneran?”

Ibu mengangguk.

“Bagaimanapun, usahamu harus dihargai. Sudah sana tidur, nanti kesiangan.”

***

Setelah lampu bioskop dimatikan, mataku hampir tidak berkedip. Dre Parker, pemeran utama film itu, adalah seorang anak Amerika yang yang ingin mempelajari karate di Beijing, China.

Keinginannya itu muncul setelah diganggu dan dipukuli oleh teman sekolahnya, Cheng. Tanpa sengaja, saat Dre dipukuli, ada Mr Han alias Jackie Chan yang membantu. Setelah para pengganggu itu pergi, di situlah Dre meminta diajari karate.

Ibu mencubit pelan saat adegan Dre selalu meletakkan jaketnya sembarangan. Meski diingatkan tiap hari, tetap saja lupa di hari berikutnya. Ya, mirip kebiasaanku. Uniknya, pelajaran pertama Dre dalam karate adalah memakai, melepas dan menggantung jaket sendiri. Berulang-ulang dan berhari-hari. Sepintas itu seperti hukuman atas kebiasaan buruk. Tetapi ternyata gerakan itu menjadi awal dari jurus karate yang diajarkan.

Akhirnya Dre berhasil mengalahkan Cheng di turnamen karate. Ah, seru sekali. Padahal Dre sempat pincang dan tidak bisa berjalan. Di perjalanan pulang, aku bilang pada ibu, aku ingin seperti Dre. Ingin jago karate dan memenangkan turnamen.

“Mikail, ibu lebih bangga bila kamu bisa menaruh segala peralatanmu di tempat seharusnya tanpa disuruh.”

Tiba-tiba dadaku seperti bergetar. Aku pegang tangan ibu sambil mengucap janji pada diri sendiri: mengubah kebiasaan buruk dan membuat ibu bangga

NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akunFiksiana Community

Silakan bergabung di groupFB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun