Mohon tunggu...
Simon Lao Seffi
Simon Lao Seffi Mohon Tunggu... Guru - Belajar Menulis

Guru di SMAN 2 Fatuleu Barat, kab. Kupang, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buaya, Raja Air yang Lagi Marah di Timor NTT

2 Agustus 2017   18:58 Diperbarui: 4 Agustus 2017   10:30 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu terakhir, banyak orang di Timor NTT yang mati diterkam buaya. Akibatnya, buaya saat ini seolah sudah menjadi musuh manusia. Buaya, dalam konteks atoin meto(sebutan untuk suku asli di daerah Timor barat yang kini disebut juga sebagai orang dawan), yang dulu begitu dihormati, bahkan dipuja dan disembah, kini sudah jadi musuh besar. Dalam mitologi yang masih terus diwariskan hingga para penutur atoin meto saat ini, pulau Timor sendiri merupakan pulau yang terbentuk dari perubahan wujud buaya. Kebetulan pula, pencitraan fisik pulau Timor dalam peta, kata beberapa antropolog, kelihatan seperti buaya yang sementara tidur.

Tak lepas dari mitos ini, sisa - sisa kedekatan emosional antara atoin meto dengan buaya juga masih dapat dilacak hingga hari ini. Dalam syair adat beberapa penutur di Amfoang maupun Fatuleu, buaya di sebut usi oel (raja air). Buaya diakui sebagai penguasa atau raja yang berada dalam air (kolam/muara). Karena itu, buaya sangat dihormati bahkan disembah oleh leluhur banyak suku kecil di Timor.

Dalam salah satu tuturan adat yang menceritakan pembagian wilayah antara raja Sonbay sila (membentuk kerajaan Paenenom Oenam di wilayah Timor barat yang kemudian dipecah oleh kolonial menjadi swapraja Fatuleu, Molo, dan Miomafo), raja Foan Sila (membentuk kerajaan Amfoan), dan raja Benu Sila (membentuk kerajaan Ambenu), disebutkan bahwa Foan Sila menempati pah binonij nifug binonij (kiasan untuk wilayah Amfoang) karena harta berupa muti (kalung tradisional) milik penguasa wilayah Amfoang sebelumnya yang kalah perang saat ekspansi rombongan Sonbay, Foan, dan Benu dari Liurai Wewiku - Wehali di Belu Selatan, dapat diambil oleh salah satu meo naek (pahlawan) pihak Amfoan dari dalam muara Sonbikog (muara sungai Noebesi yang menjadi batas alam wilayah Amfoang dan distrik Ambenu di RDTL saat ini) yang dijaga oleh banyak buaya (usi oel) saat itu.

Diceritakan bahwa saat kedua anak Nai Abij (penguasa wilayah Amfoang sebelumnya) tertangkap, mereka menunjukkan tempat penyembunyian muti (kalung tradisional) milik ayah mereka agar tidak dibunuh. Mutimilik Nai Abij yang berada dalam dua kumbang (guci) besar disembunyikan di dalam muara Sonbikog. Kedua guci yang ditenggelamkan itu dihubungkan dengan tali yang terikat pada batang salah satu pohon bakau. Menurut penutur, dibutuhkan waktu berhari - hari untuk mendapatkan guci berisi muti karena para usi oel yang ada dalam muara tidak membiarkan seorangpun prajurit untuk masuk. Apalagi muti itu ditempatkan oleh Nai Abij melalui ritual adat sehingga usi oel benar - benar menjaga amanat dari Nai Abij. Hanya orang - orang berilmu yang bisa menaklukkan usi oel.

Diceritakan oleh penutur, salah satu guci akhirnya bisa diambil hanya oleh salah satu meo naek Amfoan yang baru saja pulang dari pengejarannya terhadap sisa - sisa pasukan Nai Abij. Ketika meo naek itu kembali melata untuk mendapatkan guci yang kedua, beberapa usi oel menerkam batang bakau tepat di depannya ketika hampir sampai ke tempat guci terikat, sehingga, sesuai tuturan beberapa penutur yang sama persis, para usif di darat meneriakinya agar kembali. Dalam tutur adat disebut, 'maut, hit pal es, usi oel in pal es' yang artinya 'biarkan, kita dapat satu, raja air dapat satu'. Tuturan mengenai keikutsertaan prajurit Amfoang dalam perang 3 (tiga) tahun di wilayah Alor sekitar awal tahun 1700 an juga menyebutkan buaya sebagai usi oel yang banyak membantu pasukan Amfoan saat itu. Masih banyak tuturan sejarah yang menunjukkan bahwa kehidupan leluhur atoin meto sangat erat berhubungan dengan buaya. Motif buaya dalam tenunan beberapa nonot(klan) atoin meto juga masih ada hingga hari ini.

Kini, dalam konteks atoin meto, meski buaya masih diakui sebagai usi oel, keakraban antara buaya dan manusia hanya sekedar hidup dalam berbagai tuturan adat. Hubungan yang intim antara buaya dan manusia sudah rusak total. Buaya membunuh manusia seperti membunuh binatang buruan mereka.

Padahal, sesuai cerita penutur, dulu, manusia yang tidak sengaja berhadapan dengan buaya dalam jarak yang tidak memungkinkan untuk menyelamatkan diri akan dibiarkan lolos tanpa diganggu oleh buaya. Bahkan buaya yang menghalangi jalan lewat manusia akan menghindari manusia jika disapa dengan sopan dan hormat. "Oe usi oel, mupasib bom he hai mfin", begitu cara mereka menyapa usi oel yang menghalangi jalan sesuai cerita tetua adat. Artinya, "oe raja air, silahkan menghindar supaya kami bisa lewat". Dan, buaya akan menghidari manusia.

Karena itu, hemat penulis, jika kematian - kematian tragis akibat serangan buaya disandingkan dengan cerita - cerita keintiman buaya dan manusia dalam konteks atoin meto dulu, serangan buaya saat ini sebenarnya menjadi peringatan keras bagi umat manusia. Usi oelingin mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan ekologis sesuai tujuan kedatangan leluhur atoin meto dulu. Dalam tutur adat milik penutur atoin meto, diceritakan bahwa kedatangan mereka ke wilayah Timor barat berhubungan dengan upaya untuk mengamankan dan menjaga kelestarian alam. Kebiasaan menyapa istri dan anak perempuan dalam tiap marga asli atoin meto dengan menyebut nama fatu kanaf (batu marga), gunung yang menjadi sentrum dari wilayah kekuasaan marga, adalah jejak dari mindset leluhur atoin meto yang mengidentikkan perempuan dan alam. Perempuan dan ekologis, dalam mindset lokal atoin meto berada dalam posisi setara sebagai pemberi hidup.

Sekarang, buaya marah karena kekurangan makan. Manusia merusak hutan - hutan besar untuk berkebun berpindah, tambang, dan kepentingan sejenisnya. Semua jenis kayu dibabat untuk berbisnis papan. Akibatnya, air berkurang sehingga ikan - ikan di muara jadi berkurang karena kekurangan makan. Kita racuni ikan - ikan sehingga perkembangan ikan - ikan jadi terganggu. Kita pakai pestisida, racun semprot rumput, pupuk kimia, dan berbagai bahan kimia dalam aktivitas pertanian sehingga racun kimia yang terbawa air meracuni biota muara yang mengganggu kelangsungan hidup buaya. Banyak perilaku manusia yang jelas - jelas mengganggu kehidupan buaya. Buaya marah karena manusia sudah merusak relasi ekologis yang dulu begitu diagungkan. Buaya menjadi marah karena manusia mengangkangi tugas ekologis yang diembannya.

Karena itu, rubahlah perilaku kita terhadap alam agar buaya tidak perlu mengingatkan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun