Mohon tunggu...
Beina Prafantya
Beina Prafantya Mohon Tunggu... Guru - Editor, Penggiat Pendidikan, Istri, Ibu Satu Anak

Saya mencintai dunia pendidikan dan pengembangannya, tertarik dengan dunia literasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Romantisme Tanpa Upacara Pernikahan

16 Juli 2021   15:32 Diperbarui: 16 Juli 2021   16:32 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini hati saya semacam mellow.

Sebuah paket yang dalam beberapa hari ini memang saya tunggu tergeletak di depan meja kerja saya. Betul, isinya sebuah buku, tetapi saya tidak pernah membayangkan si buku ini akan dilampiri sebuah surat cinta dari Kafi Harridhi Khaibar, si anak berambut banyak.
Entah apa saja yang sudah saya lakukan kepadanya, saya tidak terlampau ingat. Dulu, yang saya ingat, saya memang melakukan berbagai atraksi sebagai upaya menjadi guru yang mencoba menorehkan pesona. Mungkin saya haus perhatian. Bahkan, mungkin juga saya hanya sekadar ingin mendapatkan label keren di mata anak murid saya demi sebuah popularitas.  

Agak jauh dari kata ideal, menurut saya. Kenyataannya tidak ada dekat-dekatnya sama sekali ke arah itu.

Hari pertama saya mengajar, dia memilih duduk di samping saya sehingga jari saya bisa tenggelam dalam banyaknya rambut di kepala anak ini. Dia selalu mencuri perhatian, banyak gagasan menginspirasi yang bahkan sangat asing bagi saya sebagai gurunya yang masih belajar itu.

Suatu hari ia memberi saya pecahan uang seribuan, tidak indah bentuknya sama sekali. Entah sudah berapa tangan mengucek kertas uang seribuan ini, entah sudah berapa dompet dan saku yang disemayami lembaran seribuan ini. Unik sekali, di uang ini tertulis nomor seri dengan didahului tiga huruf awal nama saya: B E I. Selanjutnya, saya tidak ingat angka berapa yang mengikutinya karena itu tidak penting. Dia memberikan uang itu kepada saya untuk disimpan. Tentu, saya masih menyimpannya sampai hari ini.  

Kala lain, pada sebuah konsultasi yang seharusnya membahas kemajuan pembelajaran, anak ini malah membahas anagram. Katanya, ayah dan ibunya memiliki nama yang terdiri atas huruf yang sama. LIAN dan NILA. Lalu, katanya nama suami masa depan saya pun seharusnya beranagram dengan nama saya: ANIEB, IENAB, atau varian lain dari kelima huruf itu. Entahlah, saya tidak menekuni teori anagram. Yang jelas nama suami saya sekarang adalah HERI, bukan anagram dari nama saya.      

Saya memang jatuh cinta pula pada anak ini. Kalau boleh geer, mungkin anak ini pun jatuh cinta pada saya. Buktinya, dia memikirkan saya sampai perihal masa depan. Namun, percintaan kami harus selesai. Saya tidak kuat untuk terus-terusan pencitraan dan saya memilih hengkang meninggalkan anak-anak sekalipun anak berambut banyak ini tidak mau menatap wajah saya pada hari terakhir saya bekerja di sekolah itu. Boro-boro berpamitan, untuk bertemu saya saja anak ini harus dipaksa ibunya duduk di hadapan saya. Ia hanya menunduk, tidak ada satu kata pun yang diucapkan. Hanya ibunya yang berkata bahwa ia keberatan untuk ditinggalkan.

Sekarang cerita itu cuma kenang-kenangan, seperti Kota Bandung yang dulunya lautan api. Namun, kenang-kenangan itu rupanya menetap dalam hati. Buktinya saya mengingat kejadian-kejadian impresif yang saya ceritakan pada hari ini.

Buku ini juga kenang-kenangan. Bukan sekadar kenang-kenangan karena anak berambut banyak itu penuh kenangan, bukan pula kenang-kenangan yang diberikan saat perpisahan sebagai benda untuk dikenang.

Masa lalu memang tidak bisa dibukukan. Ia hanya memotret sebagian dari yang sesungguhnya lebih besar. Bahkan sangat besar sebagaimana besarnya romantisme saya mencintai anak-anak pada masa itu, bahkan hingga sekarang. Romantisme ini bukti bahwa mencintai tidak harus berakhir pada pernikahan karena romantis bukan melulu soal berkasih-kasih antara dua manusia untuk membangun mimpi bersama dalam rumah tangga. Romantis adalah hubungan rumit yang tidak dapat diterjemahkan dalam puisi apa pun, dengan bunga mana pun, atau dengan cokelat semahal apa pun. Seperti perasaan saya saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun