Mohon tunggu...
Gita Pratiwi
Gita Pratiwi Mohon Tunggu... -

bahagia dan membahagiakan.\r\nmirip pegadaian lah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Argumentum in Absurdum

5 Mei 2011   16:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:02 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

The Panas Dalam, band aneh dari Bandung, lagu-lagunya sangat menjengkelkan, tapi saya memutarnya hampir setiap hari, di bis, di kamar, atau lagi tiduran di mesjid–saya ulang-ulang hampir semua lagunya, masih tetap aneh, kenapa saya ketawa-ketawa, padahal ngantuk berat. Saya upload lagu-lagunya, biar kapan-kapan dimanapun bisa saya saya download, agar persoalan ini. Ada saatnya imajinasi menemukan pernyataan-pernyataan yang jarang dipikirkan, dan pikiran-pikiran yang susah dinyatakan. Barangkali disebabkan musik, atau jiwa yang bebas. Kurang ajar, atau mungkin semestinya jujur. Atau karena hidup di zaman ini mesti disikapi dengan pikiran-pikiran aneh, “kurang ajar”, bruk-brak, lelucon, humoris, tapi tetap kritis.  Suara itu, lamat, seperti dari hati, semaam idealisme yang aneh, putus asa yang aneh, harapan, marah, pengalaman yang aneh, absurd. Tapi toh seringkali kebenaran ditemukan dalam tumpukan tawa dan canda.

Selalu, hanya kelompok kecil saja yang mau manjadi “martir” untuk hidup yang banal ini,  berdebat dengan banyak cara, alat, medium…hanya sekedar ingin menanam dalih dalam pedih. Orang-orang absurd, hidup absurd, memakai kesenian untuk meruncingkan senyum yang sinis bagi gempita keseharian, filsafat, gaya hidup, budaya dan sistem yang ironis, yang terkadang bengis. Saya dengar ada Erwin, Nawa Pandal, Cahya, Roy, Pidi Baiq,  siapapun, yang bergeletakan jadi wirid yang liat sebagai Argumentum in Absurdum–terlepas pergantian personil, masa bodo, tak sedikipun saya peduli, toh yang penting karya-karyanya yang lahir, yang bisa kita dengar, sampai  untuk anak cucu kita.

Ternyata hidup di dunia ini untuk bersenang-senang, ya daripada mati bunuh diri. Tertawa-tawa, daripada terbawa-bawa kecewa tanpa tawa. Jarang benar orang bisa berpikir di saat ia tertawa. Ko renungan, hikmah, kebenaran dsb. selalu saja identik dengan buku tebal nan serius? Sistem logika yang rapi dan rumit? Sebenarnya sungguh lucu hidup ini, pikiran ini, hanya saja kita 24 jam terlalu serius mengisi “teka-teki silang” hidup ini. Jadi ingat ungkap Milan Kundera, saat manusia berpikir, Tuhan tertawa, tapi toh tawa adalah salah satu bentuk  “pikiran yang bebas”, bahwa humor selalu hadir dalam proses yang tak pernah usai, seperti juga musik yang diterima oleh manusia dalam liku wajah sejarah yang berubah-ubah, warna budaya berbeda-beda.   Para pejabat boleh bersenang-senang denga politik, rakyat pun bisa bersenang-senang dengan musik.

Betapa selama ini keseharian kita masih berputar dalam jalur yang kaku, tanpa tawa, tak pandai menertawakan diri sendiri. Lantas dengan apa segalanya bisa kita sampaikan, jika jiwa dan pikiran masih terbelenggu kaidah-kaidah, sopan santun aspirasi, feodalisme komunikasi dan bisikan eufimisme? Kita butuh seni yang bisa membebaskan gagasan dan imajinasi yang gila sekalipun, semacam medium katarsis yang pada gilirannya akan membuat kita bisa menerima banyak kenikmatan dan kesenangan dalam menghayati hidup. Inovasi, kreativitas bahkan kebenaran yang segar ternyata bisa kita temukan jika diri kita dalam keadaan gila, bebas, tertawa, ektase….meureun. Ah, ko dibikin rumit, yang penting raga sehat, jiwa kiat, hati dan pikiran senang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun