Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanpa Serupiah, Tiada Seratus Rupiah!

7 Desember 2021   10:03 Diperbarui: 7 Desember 2021   10:08 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan  Selasa 7  Desember 2021

Mat 18:12 "Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? 13 Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. 14 Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang."

Renungan

Sering dijumpai harga-harga barang-barang dengan nominal yang aneh. Misalnya label harga Rp 9999 ditempelkan pada kaos kaki. Secara psikologis label nominal demikian memberi kesan harga di bawah Rp10.000. Harga yang murah. Namun ketika orang membeli kaos kaki itu toh kasir tidak akan siap dengan uang kembalian serupiah. Si pembeli pun jadi maklum jika tidak mendapat haknya, kembalian serupiah dari uang sepuluh ribunya itu.  Disadari atau tidak praktek labelisasi macam itu mengiklimkan dan membentuk mental meremehkan, merendahkan nominal serupiah. Simbol si klemit, si kecil, lemah, miskin, tersingkir dan cacat.

Bacaan Injil hari ini menarasikan tentang perumpamaan domba yang hilang. Untuk membantu memahami makna perumpamaan ini,  perlu kiranya melihat konteks perikope  Matius bab 18. Narasi awal perikope adalah datangnya  murid-murid Yesus  kepada-Nya dan bertanya: "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?". Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka. Lalu Yesus menegaskan yang terbesar dalam Kerajaan Sorga adalah yang bertobat dan menjadi seperti anak kecil; yang merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil; yang menyambut seorang anak kecil ini dalam nama-Nya; yang tidak menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya kepada-Nya.

Narasi tentang perumpamaan  domba yang hilang itu, melengkapi jawaban atas pertanyaan para murid itu. Perumpamaan ini menambahkan jawaban  yang sudah ditegaskan Yesus. Yang terbesar dalam Kerajaan Sorga menurut perumpamaan ini adalah yang seperti Bapa di sorga, yang tidak menghendaki seorangpun dari anak-anak kecil itu hilang; yang seperti seorang mempunyai seratus ekor domba, seekor di antaranya sesat; yang  meninggalkan  sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan; yang pergi mencari yang sesat itu sampai menemukannya; yang setelah berhasil menemukan,  begitu gembira atas yang seekor itu; yang  kegembiraannya  melebihi kegembiraan  atas  sembilan puluh sembilan ekor miliknya yang tidak sesat.

Yang terbesar dalam Kerajaan Sorga adalah yang tidak bersikap meremehkan dan merendahkan si klemit. Yang dimampukan memandang betapa berharganya liyan sekalipun sesat hidupnya.

Bagai uang serupiah, meski kecil dan sedikit jumlahnya, uang seratus rupiah tidak akan pernah menjadi seratus rupiah, manakala serupiah daripadanya tiada. Uang serupiah, kecil nominalnya, namun unik posisinya. Uang serupiah ini tak tergantikan. Tidak dapat diremehkan, dibuang, diingkari atau dilenyapkan. Ia bagian istimewa dari seratus perak. Ia begitu berharga. Tanpanya  seratus perak tidak ada.

Dengan kata lain, yang terbesar dalam Kerajaan Sorga adalah yang "ngrengkuh lan nyedulur" bersaudara dengan si sesat jahat. Mereka yang berbelas kasih, bermurah hati kepadanya. Mereka yang tetap punya hati seperti Bapa. Yang  berhati utuh penuh sempurna, seutuh penuh dan sempurna hati-Nya. Dampak pilihan mereka bagai benih berkualitas. Begitu jatuh terkubur dalam tanah, kemudian muncul tunas baru, kehidupan. Seperti serupiah membuat sempurna seratus rupiah. Demikian mereka mengalami kesempurnaan kehidupan kekal. Bersatu dengan Allah. Paripurna. Keselamatan sorga sepenuhnya.

Sebaliknya mereka yang suka  menyesatkan, mengecilkan, melemahkan, memiskinkan, menghina papakan, menyingkirkan dan menyacatkan si klemit sesat, meski dilabel ahli ibadat  sejatinya hidupnya tidak ada apa-apanya.  Mereka bagai benih jagung tak berkualitas. Pada saatnya jatuh terkubur di dalam tanah, benih itu akan bosok, lenyap, mati, tiada tumbuh tunas baru. Benih jagung yang tidak berkualitas, tamat akhirnya. Tanpa serupiah, bukanlah seratus rupiah. Demikianlah dampak mereka yang tega membuang si sesat yang serupiah itu. Gagallah mengalami menjadi seratus rupiah. Mereka terpisah dari Allah. Mengalami kematian kekal. Binasa selamanya.

Bagaimana diri saat berhadapan dengan mereka yang sesat, akankah melaknat, menghujat membabat ataukah bersahabat mengangkat dari lumpur kesesatan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun