Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Darurat, Dengarkanlah Dia!

6 Agustus 2021   10:18 Diperbarui: 6 Agustus 2021   10:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan Jumat 6 Agustus 2021

Mrk 9:2 Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, 3 dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. 4 Maka nampaklah kepada mereka Elia bersama dengan Musa, keduanya sedang berbicara dengan Yesus. 5 Kata Petrus kepada Yesus: "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." 6 Ia berkata demikian, sebab tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena mereka sangat ketakutan. 7 Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia." 8 Dan sekonyong-konyong waktu mereka memandang sekeliling mereka, mereka tidak melihat seorangpun lagi bersama mereka, kecuali Yesus seorang diri. 9 Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceriterakan kepada seorangpun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati. 10 Mereka memegang pesan tadi sambil mempersoalkan di antara mereka apa yang dimaksud dengan "bangkit dari antara orang mati."

Renungan

(Sebelumnya saya mohon maaf, ternyata Kamis 5 Agustus 2021 kemarin saya salah click bacaan dari Kalender Liturgi. Renungan kemarin untuk hari Kamis 12 Agustus 2021).

Sudah 38 tahun saya menikah. Dengan tiga anak, dua menantu dan dua cucu. Apa yang membuat perkawinan tetap bertahan dan setia mempertahankan posisi sebagai suami istri? Kesadaran dan kemauan untuk terus menghidupi masa-masa awal bertemu, masa-masa indah saat berpacaran; kesadaran dan kehendak untuk selalu menghayati love-story, sejarah indah percintaan; kesadaran untuk memilih senatiasa mengkinikan kisah perjuangan kasih yang pernah terjadi; kesadaran dan keputusan untuk menjadikan perkawinan, hidup bersama bersuami istri sebagai  perpanjangan dari masa pacaran; kesadaran mengaktualkan perkawinan jangan dan bukan menghentikan masa pacaran. Suami istri tetaplah pacar, liyan, yang lain, yang unik, yang  menjadi penyemangat; sumber motivasi melihat kehidupan secara baru dan lain; pendorong untuk selalu ke luar dari kesempitan ego diri.

Kesadaran betapa begitu indah dan menariknya hidup berpacaran, menjadi pijakan kuat mengelola banyak pengalaman konflik, konfrontasi, beda pendapat, beda solusi, beda langkah, beda sudut pandang, beda-beda lainnya yang terjadi selama hidup bersama sebagai suami istri. Kejengkelan, kedongkolan, kata-kata "sengak"  kasar melukai hati, ngambek, saling mendiamkan, putus komunikasi  pembicaraan beberapa saat, bagai tempe bosok, bau trasi menyengat, pahitnya daun pepaya, bau petai yang tak sedap di mulut, yang  diolah jadi menu masakan perkawinan yang tidak kehabisan sukacita.

Pengalaman hidup berkeluarga itu membantu merenungkan bacaan Injil hari ini. Karena nama Yesus, para murid akan mengalami apa yang Yesus alami. Dibenci, disingkirkan, ditolak, ditangkap, dianiaya, dipenjara, dibully, dipersekusi, dan puncaknya dibunuh, di salib kayu palang. Saat itu para murid akan berguguran. Namun demikian toh ada yang tetap setia dan bertahan menjadi murid yang mengikuti-Nya. Apa yang membuat mereka dapat bertahan hidup sebagai pengikut-Nya, di tengah-tengah penolakan?

Jaminan kemuliaan-Nya. Yesus memberikan pengalaman kemuliaan-Nya kepada para murid. Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes, bersama-sama naik ke sebuah gunung yang tinggi. Yesus berubah rupa di depan mata mereka. Nampaklah Elia bersama Musa,  sedang berbicara dengan Yesus. Petrus dkk dikaruniai pengalaman seperti nabi Musa dan Elia di atas gunung memandang Allah dalam kemuliaan-Nya. Mengalami kemuliaan Allah  adalah jaminan bagi yang  tetap setia dan bertahan di kala penolakan, penganiayaan, pembinasaan menerpa.

Namun demikian jaminan kemuliaan Allah yang ditawarkan Yesus  belum dapat dicerna Petrus dkk. Katanya: "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." Petrus tidak tahu apa yang harus dikatakan, karena mereka sangat ketakutan. Petrus dkk belum memahami bahwa pengikut-Nya justru akan dimuliakan dan ditinggikan,  ketika mereka dihina dan direndahkan sebagai pengikut-Nya. Petrus kayak sedang "nglindur", mengigau bahkan mau mengerangkeng, memenjarakan Yesus, membatasi, mengkemahi, dan merumahkan Yesus. Petrus  gagal mengenal Yesus, Mesias. Padahal ketika Yesus bertanya  "Apa katamu, siapakah Aku?" dialah yang dengan lantang menjawab "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!". Petrus  belum sungguh mengenal Yesus secara utuh penuh menyeluruh, maka diajaklah mengalami kemuliaan-Nya, agar tetap bertahan mengikuti-Nya pada saat mengalami kesukaran. Saat diambang perceraian, hadirkan, aktualisasikan kemuliaan, keindahan, romantika kemesraan berpacaran, keputusan yang diambil akan berbeda.

Apa yang mesti dilakukan para murid-Nya agar dapat setia dan bertahan dalam penderitaan? Di samping berpegang pada jaminan kemuliaan-Nya, juga mendengarkan Dia.  Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: "Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia." Dan sekonyong-konyong waktu mereka memandang sekeliling mereka, mereka tidak melihat seorangpun lagi bersama mereka, kecuali Yesus seorang diri. Kemampuan setia dan bertahan dalam diri para murid-Nya saat penganiayaan terletak pada kemauan mereka mendengarkan Allah. Dalam kesukaran, akan ada banyak muncul suara, pandangan, nasehat, pengaruh, ajakan sebagai jalan keluarnya. Namun bagi pengikut-Nya, di kala mengalami salib kehidupan, hanya satu solusinya, dengarkanlah Yesus. Dialah Anak yang dikasihi-Nya. Adanya jaminan kemuliaan Allah dan senantiasa mendengarkan  Yesus, adalah prinsip kristianitas. Saat darurat perkawinan, pilih bercerai atau bertahan, dengarkanlah dia sang pacar yang dengan penuh semangat empat lima tempo doeloe dipuja, dipuji, diperlakukan, disikapi, dibicarakan, dengan istimewa, tulus hati penuh kebaikan, menjadikan "fly", agar kini mendarat dengan selamat.

Apakah prinsip itu sungguh dipahami dan "diugemi", dipegang teguh? Pada waktu Petrus dkk turun dari gunung, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceriterakan kepada seorangpun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati. Mereka memegang pesan tadi sambil mempersoalkan di antara mereka apa yang dimaksud dengan "bangkit dari antara orang mati."  Sampai Petrus dkk turun gunung, masuk dalam kehidupan keseharian, toh masih belum mengerti prinsip kristianitas, adanya jaminan kemuliaan, "bangkit dari antara orang mati"  Maka wajarlah jika Petrus yang tidak mengerti dilarang memberi "pengertian" kepada mereka yang juga tidak mengerti. Orang yang tidak tahu kok memberi tahu, namanya sok tahu, pura-pura tahu. Berbahaya orang buta menuntun orang buta, keduanya dapat jatuh ke selokan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun