Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Kukehendaki Belas Kasihan, Bukan Persembahan!

16 Juli 2021   10:46 Diperbarui: 16 Juli 2021   11:30 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan Jumat 16 Juli  2021

Mat 12:1 Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. 2 Melihat itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat." 3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, 4 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam? 5 Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? 6 Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah. 7 Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. 8 Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."

Renungan

Ini cerita tetangga, seorang ibu satu Lingkungan, saat menghadiri perayaan ekaristi.  Di saat pandemi Covid19 ini, beberapa saat umat yang mengikuti perayaan ekaristi dibatasi. Panitia menyiapkan kartu identitas berwarna-warni untuk umat. Saat menunjukkan kartu identitas yang dibawanya, ibu ini tidak diijinkan mengikuti ekaristi. Ibu ini salah ambil kartu identitas yang berwarna beda untuk saat itu. Sekalipun petugas  mengenalnya, namun mereka berpedoman pada aturan kaku yang tertulis. Ibu ini  diminta pulang mengambil terlebih dulu.  Dan  dari pengalaman selama ini, kapasitas kursi yang tak terisi selalu jauh lebih banyak dari pada yang hadir. Sehingga ibu ini jika diijinkan mengikuti ekaristi, dapat dipastikan tidak akan "merampok" jatah kursi umat  lain.

Bacaan Injil hari ini menarasikan tafsir orang Farisi terkait aturan hari Sabat.  Pada hari Sabat orang dilarang bekerja. Dengan demikian orang bisa sungguh beristirahat, merdeka dalam memfokuskan diri dan berkonsentrasi untuk berbakti kepada Tuhan. Pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. Melihat itu, orang-orang Farisi menegur-Nya: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."  

Jika hulum Taurat semacam UUD, Dasa Firman semacam UU, para pemuka agama Yahudi membuat lagi semacam PP tentang pedoman pelaksanaan hari Sabat sebagai turunannya. Lewat PP mereka menetapkan protap  dengan hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat. Bagai air, semakin jauh dari mata air akan semakin kotor dan keruh, demikian halnya yang akan terjadi dengan segala aturan tambahan. Semakin jauh dari sumbernya, konstitusi, aturan tambahan akan semakin sesat dan banyak menyimpang, inkonstitusional.

            Rumusan konstitusional hari Sabat dalam Taurat berbunyi "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya". (Kel 20:8-11). Dengan singkat padat konstitusi menuliskan "jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu". Bagaimana PP  mengatur larangan melakukan sesuatu pekerjaan itu?

Para pemuka agama merumuskan   larangan,  terdiri  7 kategori dengan 39 perkara. Yaitu  menabur, membajak, menuai, memberkas, mengirik, menampi, meniup (8 perkara); menampi, memetik, memanggang makanan (3 perkara); menggunting, melayang, menyisir, mewarna, memintal, menganyam, menarik, membutang, membahagikan (9 perkara); mengikat, melepaskan ikatan, menjahit, menenun, memisah (5 perkara); memburu, menyembelih, menanggal kulit, menggarami kulit, menghiris kulit, menggores kulit, memotong kulit (7 perkara); menulis dua pucuk surat, membina dan merobohkan rumah (3 perkara);  menyalakan dan mengalihkan api, menempa, memindah, sebanyak 4 perkara  (http://www.tjcsabah.com/?p=6134)

Sebagaimana petugas gereja "menegur" ibu itu, demikianlah orang Farisi menegur Yesus terkait perilaku murid-murid-Nya yang memetik bulir gandum yang menurut tafsir mereka, tidak diperbolehkan pada hari Sabat. Orang-orang Farisi menekankan yang kurang penting tetapi mengabaikan yang penting. Kehadiran ibu itu jauh lebih utama dari kartu identitas yang dia bawa beda warna dari yang seharusnya. Yang hakiki dikalahkan oleh yang asesori.

Bagi Yesus kebutuhan kemanusiaan lebih penting dari peraturan peribadatan. Peraturan peribadatan bukanlah peraturan baik jahat secara moral. Esensi semua peraturan adalah mengabdi kemanusiaan. Yang bertentangan dengan kemanusiaan pastilah tidak bermoral, jahat, tidak berasal dari Tuhan. Sehingga segala yang melawan kemanusiaan, dapat dan boleh diubah, diganti bahkan diabaikan atau dilanggar.

Yesus menegaskan dengan contoh kisah Daud dan para imam yang bekerja di Bait Allah. Menurut peraturan peribadatan roti itu hanya untuk imam. Tetapi Daud dan pengikut-pengikutnya karena lapar memakannya. Hal ini tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu kesalahan, kejahatan, apalagi dosa.

Demikian halnya imam-imam yang bekerja dalam Bait Allah pada hari Sabat. "... tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah". Sesuai dengan jalan pemikiran orang-orang Farisi, mereka para imam dapat dipandang sebagai 'melanggar' hari Sabat.  Karena pekerjaan imam-imam pada hari Sabat adalah menyalakan api untuk mezbah, menyembelih binatang, mengangkat binatang ke mezbah, dsb Semua ini merupakan pekerjaan yang cukup berat. Jadi pada hari Sabat, mereka tetap dapat dan  boleh melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan ibadah. Ini bukan pelanggaran terhadap hukum Sabat. Jika Bait Allah lebih besar dari Sabat, maka Yesus lebih besar dari Bait Allah. Sehingga Yesus jauh lebih besar lagi dari Sabat.

Hakekat peraturan adalah melindungi kemanusiaan. Kenapa "tempo doeloe" diperlukan dua atau tiga orang saksi sebelum menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang dituduh sebagai pembunuh? Karena hanya mereka yang sungguh melihat dengan mata kepala sendiri siapa pelakunya, akan berani tampil sebagai orang pertama untuk melempar batu ke kepalanya, mengeksekusi terhukum. Dengan begitu terhindarlah dari kesewenang-wenangan. Lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang benar, orang yang tidak bersalah. Sabat pun untuk memerdekakan manusia. Jangan jadikan manusia budak hari Sabat.

Yang utama dari hari Sabat adalah relasi dengan Allah. Relasi yang nada dasarnya adalah kasih. Menjadi lebih berbelas kasih, punya hati Allah, jauh  lebih penting dari bentuk dan tata cara persembahan korban bakaran "Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat."

Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagimana kehidupan diri? Selalukah mengajak mencari dan menghidupi semangat dasar di balik setiap huruf, bunyi, tulisan aturan sebagai solusi kehidupan bersama? Semakin gampang dan kerapkah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memaksakan sudut pandang dan  tafsir keagamaan sendiri untuk diikuti? Semakin tipis bahkan lenyapkah belas kasih kemanusiaan diri ketika berhadapan dengan mereka yang menurut kaca mata kita,  hidupnya tidak sesuai dengan standar protap keagamaan?  

Yang berbelas kasih , hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat, jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Tersirat dari tersurat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun