Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Bicyclogue: Kembali ke Curug Malela (Kali Ini Pake Sepeda)

31 Oktober 2016   15:35 Diperbarui: 31 Oktober 2016   18:21 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantat dan paha pegel. Wajar, Baru pada Sabtu 29 Oktober 2016-lah saya mencoba gowes jarak lebih jauh. Total 78,7 km dari rumah. Diguyur hujan lagi.

Bermula dari pengumuman di grup what’s app (WA) Goweser ITB LintAng – sebuah grup alumni ITB dari berbagai angkatan dan berbagai jurusan yang hobby bersepeda – tentang acara gowes ke Curug Malela. Acaranya sangat menjanjikan: gowes sambil mencoba bersama-sama jersey baru dan iming-iming indahnya air terjun (curug) Malela. Iming-iming tambahannya adalah pulangnya niteride yang pasti asyik karena jalan relatif menurun pada malam hari. Untuk yang ini saya tidak tertarik. Di pendaftaran saya sudah ngacung kalau pulangnya saya minta loading. Biarin disebut kurang berjiwa goweser juga!

Dengan seragam jersey LintAng dalam dua versi warna kuning dan biru, 24 goweser bergabung di tikum-1 (tikum = titik kumpul) Taman Kopo Indah dan memulai gowes untuk menuju tikum-2 Alun-alun Cililin. Dalam bayangan mendung di atas Bandung, kami pun segera menyusuri jalan melewati rencana tol Soroja (Soreang – Pasir Koja), Kampung Tradisional Mahmud, Jembatan Ci Tarum di Nanjung dimana pernah kejadian tiga orang santri perempuan Daarut Tauhid AA Gym diculik, dirampok dan dilemparkan dari atas jembatan ini, melewati Curug Jompong yang digadang-gadang akan dihancurkan karena dianggap penghambat aliran Ci Tarum yang menyebabkan banjir, lalu ke arah Cililin.

Dua jam kemudian, sesuai rencana, kami tiba di Alun-alun Cililin. Di sini bergabung peserta baru, di antaranya dari Jakarta, sehingga total goweser ke Curug Malela menjadi 31.

Alun-alun Cililin, 31 goweser (foto: Bayu Hanggoro)
Alun-alun Cililin, 31 goweser (foto: Bayu Hanggoro)
Lalu perjalanan yang tadinya relatif datar hingga Cililin, mulai diuji jalan yang secara gradual semakin nanjak. Jembatan Ciminyak, tempat banyak penjual ikan bakar, dapat dilalui dengan baik. Rombongan bahkan sempat terjebak kemacetan pasar tumpah di Rancapanggung. Setelah itu jalan semakin menanjak hingga Sindangkerta dan akhirnya beristirahat sejenak di Puncak Sari sekitar jam 11 setelah nafas hah-heh-hoh dan jantung digenjot lumayan keras.

Puncak Sari. Bayangan puncak setelah menanjak, berikutnya mestinya menurun bukan? Bukaaan! Memang jalan sedikit menurun, tapi langsung menanjak lagi, dan itu terjadi beberapa kali. Hebatnya turunan PHP (Pemberi Harapan Palsu) ini berada pada ujung kelokan. Saat puncak di ujung kelokan terlewati, tidak begitu jauh, jalan terlihat menanjak lagi. Busyet. Supaya tidak patah semangat, akhirnya muka menunduk saja melihat ban depan berputar hehehe…

Akhirnya sesuatu yang diperkirakan terjadi, terjadilah. Hujan. Beberapa pesepeda berteduh dan segera loading ke pick-up yang memang telah dipersiapkan. Sebagian jalan terus setelah berdandan jaket plastik. Saya terus dong. Enak segar dalam guyuran hujan walaupun jalan banyak menanjak.

Pukul 12.30 akhirnya tiba di Gunung Halu, sebuah kota kecamatan kecil di ujung barat Kabupaten Bandung Barat yang bersama dengan Kecamatan Rongga menjadi batas barat ke Kabupaten Cianjur. Sebuah warung nasi kecil pun – Pusaka – terhenyak diserbu pasukan warna biru dan kuning dengan sepatu basah mengotori lantai warung.

Setelah makan siang selesai, jam satu LintAng beranjak kembali. Etape terakhir menuju Curug Malela. Hujan, walaupun tidak besar tetapi rinai gerimisnya masih membasahi bumi Bunijaya dan perkebunan teh Montaya, Kecamatan Rongga.

Di atas Jembaan Cidadp, Bunijaya (foto: Bayu Hanggoro)
Di atas Jembaan Cidadp, Bunijaya (foto: Bayu Hanggoro)
Matahari sudah menggelincir ke ufuk barat. Dalam cuaca ceudeum dan hujan gerimis, jalan perkebunan teh Montaya yang sekarang sebagian besar sudah dilapisi aspal hot-mix, kami lalui dengan semangat. Energi memang telah kembali setelah direcharge di warung nasi tadi.

Namun, 5 km menjelang titik akhir ke Curug Malela, jalan kembali makadam. Bahkan 2 km paling akhir dijuluki makadam jahanam. “Roadbike dengkulmu!” celetukan goweser yang tidak memakai MTB :D. Bagaimana tidak, jalan perkebunan itu tidak diapa-apakan. Batunya menonjol kasar dengan lekukan lumpur di sana-sini dalam relief yang turun naik. Jadilah MTB menjadi TTB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun