Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Bicyclogue: Bersepeda di Terumbu Karang Purba

21 Desember 2016   14:28 Diperbarui: 21 Desember 2016   21:32 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berlomba dengan truk pengangkut batu kapur

Mengayuh sepeda di terumbu karang mungkin hanya ada di perairan Gili Trawangan, Lombok. Sambil menyelam kita dapat beraksi naik sepeda di atas terumbu karang yang memang telah disiapkan oleh pengelola wisata selam di sana. Namun bersepeda betulan di atas terumbu karang, tanpa menyelam, telah dilakukan oleh 52 pesepeda pada Sabtu, 17 Desember 2016 lalu.

Ke-52 pesepeda itu tidak tanggung-tanggung mengayuh sepedanya sampai “kedalaman” lebih dari 20 m pada terumbu karang purba berumur 30 juta tahun yang lalu. Tentu saja bisa dilakukan karena terumbu karang purba Kala Oligosen itu telah terangkat menjadi perbukitan batugamping karst Citatah, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat.

Acara bersepeda bersama yang diselenggarakan oleh kelompok Goweser ITB Lintang (Lintas Angkatan, Lintas Jurusan) mengambil acara bersepeda tematis Eksplorasi Karst Citatah. Gaya bersepeda tematis seperti ini telah dirintis oleh Ikatan Alumni Teknik Geologi (IAGL) ITB dengan judul Gowes Bareng Geolog, yang kali ini diadopsi oleh Lintang dengan cara yang sama: bersepeda dengan penjelasan tentang geologi di jalur yang dilewati.

Kali ini pesertanya tidak hanya alumni ITB, tetapi juga beberapa kelompok pesepeda di Bandung, misalnya dari Pusair (Pusat Sumber Daya Air), atau dari kelompok pesepeda Kedokteran UNPAD.

Jarak tempuhnya tidak terlalu jauh. Dari tempat awal bersepeda di Masjid Al Irsyad, Kota Baru Parahyangan (KBP), Padalarang, hingga berakhir di Gua Pawon, hanya menempuh jarak 15 km. Namun demikian, medannya cukup menantang walaupun tidak terlalu ekstrem. Hal ini rupanya yang dicari para peserta daripada bersepeda di jalan mulus yang tidak terlalu menarik.

Start: Kota Baru Parahyangan, Padalarang (Foto: Aris Priyandoko)
Start: Kota Baru Parahyangan, Padalarang (Foto: Aris Priyandoko)
Pagi hari saat udara masih sejuk di KBP, para pesepeda dimanjakan dengan jalan aspal mulus hingga ujung barat jalan utama KBP. Tantangan pertama dimulai ketika jalan berbelok memasuki jalan Desa Gunung Bentang – Rancabali di selatan Situ Ciburuy. Jalan yang tidak mulus dan menanjak membuat nafas dan lutut mulai diuji. Suara-suara kretak-kretak ganti ke gigi rendah mulai terdengar.
Peserta paling sepuh: Eyang Taji 84 tahun. Hebat. (foto: Aris Priyandoko)
Peserta paling sepuh: Eyang Taji 84 tahun. Hebat. (foto: Aris Priyandoko)
Sebelum tembus ke Situ Ciburuy di jalan raya Bandung – Cianjur, jalur gowes memasuki jalan kampung ke arah Cidadap. Di sinilah variasi jalur mulai terjadi. Untuk pindah jalur ke jalan tambang Lampegan, para pesepeda terpaksa harus memanggul sepedanya di atas bahu melintasi sawah yang becek. Namun ini sebenarnya rintangan kecil dan pendek untuk mendapatkan pemandangan luar biasa dari lengkungan alami (natural arc) Gunung Hawu.

Lubang raksasa di dinding selatan Gunung Hawu tampak jelas menganga saat para pesepeda beristirahat dan sibuk mengambil foto. Saat itu pula kuliah singkat tentang terbentuknya morfologi Gunung Hawu dijelaskan. Gunung Hawu yang merupakan bagian dari perbukitan batugamping (batu kapur) Formasi Rajamandala, merupakan fosil terumbu karang berumur 30 juta tahun yang telah terangkat akibat aktivitas tektonik hingga membentuk morfologi berketinggian 700 – 900 m di atas permukaan laut.

Lengkungan alami Gunung Hawu (foto: Aris Priyandoko)
Lengkungan alami Gunung Hawu (foto: Aris Priyandoko)
Lubang yang terbentuk di dinding selatan dan menembus hingga bagian atas Gunung Hawu merupakan hasil dari proses pelarutan kalsium karbonat, senyawa utama batugamping. Proses ini, dengan terbentuknya lubang-lubang dan gua, biasa terjadi pada formasi batugamping sehingga morfologi yang terbentuk dikenal sebagai karst. Toponimi Gunung Hawu sangat tepat memberikan bentuk yang terjadi, yaitu seperti hawu, atau tungku batu tempat memasak. Bayangkan lubang besar di dinding adalah tempat kayu bakar dimasukkan, dan lubang di atasnya, tempat panci diletakkan.

Setelah berada di kaki Gunung Hawu, para pesepeda melanjutkan menyusuri jalan tambang ke arah barat dan melintasi perbukitan batugamping di kawasan galian batu yang gersang di Lampegan. Saat inilah mereka seolah-olah berada pada perairan terumbu karang untuk menuju bukti nyata terumbu karang purba berupa fosil koral yang terawetkan dengan baik di puncak Pasir Pawon.

Di atas Pasir Pawon yang terkenal sebagai Stone Garden, para pesepeda disuguhi pemandangan menakjubkan tonjolan sisa-sisa pelarutan batugamping yang secara alamiah tersusun sangat apik sehingga mirip taman yang asri. Di sisi utara tonjolan karst Pasir Pawon ini, beberapa bongkah batugamping menyimpan bukti fosil koral dari berbagai jenis yang meyakinkan para peserta bahwa memang perbukitan karst Citatah dulunya adalah taman terumbu karang.

Di akhir acara di Pasir Pawon, sebagai aksi sosial, panitia Lintang membagikan kantung plastik besar dan sarung tangan untuk memulai aksi semut memunguti sampah-sampah yang berserakan di atas Stone Garden. Aksi positif ini tidak urung membuat pengunjung lain terdiam salah tingkah. Beberapa masyarakat lokal pengelola lokasi wisata ini terdengar menyeletuk, “Aduuuh urang jadi era, euy…” Mereka merasa malu karena merasa tidak mengurus kawasan indah ini dari sampah pengunjung yang seenaknya membuang sampah di atas Stone Garden. Aksi kecil yang mudah-mudahan berdampak besar.

Operasi semut pungut sampah di Stone Garden
Operasi semut pungut sampah di Stone Garden
Penyelaman dasar terumbu karang purba belum selesai. Pesepeda segera berangkat kembali menyusuri sisi bukit kapur Gunung Masigit. Bukit ini, bersama dengan Pasir Pawon, walaupun telah dilindungi dengan SK Bupati Bandung Barat 2010, tetapi tepat di batas luar garis konservasi, penggalian dan pembakaran batu kapur terus berlangsung. Di antara sampah sebagai bahan bakar dan kepulan asap pembakaran yang hitam menyesakkan napas, pesepeda segera berlalu menuju bagian bawah Pasir Pawon, tempat tujuan akhir gowes ini, yaitu Situs Arkeologi Gua Pawon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun