Mohon tunggu...
Bingar Bimantara
Bingar Bimantara Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Mager

Seorang anak petani yang sekarang berjuang menjadi sarjana. Sering patah hati namun tak pernah putus harapan. Berusaha menyibukkan diri agar tidak luntang-lantung di kos.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi Tentang Negeri Yang Sedang Tidak Sehat

3 Januari 2019   22:27 Diperbarui: 3 Januari 2019   23:12 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://steemit.com

Tanah kita tanah surga katanya, Gemah Ripah Loh Jinawi. Subur makmur bagai mata air ditengah gurun yang kering. Sungguh menyejukkan dunia. Namun kita sering kali tidak percaya diri terhadap diri sendiri. Sering memandang rumput tetangga lebih hijau. Tanpa disadari sumber daya alam kita banyak yang terkudeta.

Anak cucu menangis kelaparan di lumbung sendiri. Mati tak berdaya merintih pilu. Sedang yang masih hidup hanya bisa meratapi bapak-ibuknya menjadi budak-budak di negeri sendiri. Terbelenggu ruwetnya birokasi  di negeri balula ini. 

Jumlahnya 250 juta lebih penduduknya. Pulau-pulaunya terbentang dari Sabang sampai Merauke, 17.000 lebih gugusan pulau, bukan jumlah kaleng-kaleng. Menyimpan kekayaan yang tak perlu untuk ditotal berapa rupiah atau dolar. Hutan tropis kita dan penuh dengan aneka ragam flora dan fauna yang menggiurkan mata dunia. 

Namun hutan-hutan sudah gundul. Botak kerontang lalu subur berganti ladang sawit, ladang minyak nabati. Tau-tau flora dan fauna sudah mati tak tersisa. Rumahnya alih fungsi jadi lahan duit sawit. Mungkin saja sudah punah. Sehingga suatu saat nanti anak cucu kita hanya bisa melihat Orang utan atau satwa asli negeri ini dalam buku ensiklopedia sebagai hewan yang telah hilang dari peradaban.

Miris ketika kita negara maritim terbesar dan garis pantai terpanjang harus impor garam. Pukulan telak dan K.O untuk kita harus introspeksi diri. Nelayan-nelayan  masih harus menahan lapar di tengah samudranya sendiri. Nelayan kalah gesit dengan perahu canggih dengan jaring katrol yang dimiliki orang asing. Untung ada Bu Susi menteri nyentrik. Sekali intruksinnya untuk tenggelamkan!

Garam hanyalah barang sepele. Hanya bumbu dapur yang harga wajarnya kisaran Rp 500 - Rp 1500 per bungkus. Tapi apakah kita tidak malu dengan potensi yang dimiliki? Garampun harus impor?

"Di Pontianak itu garam Rp1.000 per kilogram, sekarang Rp4.500 sampai Rp5.000 per kilogram. Kalau kita jual dengan harga Rp4.500 ke pengasinan ikan, harganya nggak masuk. Mau jual berapa ikan asin ke konsumen?" kata Haji Sulaiman, pengusaha garam dilansir dari BBC Indonesia. Penjual ikan asin hanya bisa meringis dan menepuk dada sembari  berceletuk "Jancuk tenan" tutur kesalnya.

Keadaan cuaca, luas lahan, faktor kandungan air laut, teknologi kurang memadahi, jumlah kebutuhan yang terlampau besar, masih menjadi alibi menutupi dengan berbagai tetek bengek yang ada. 

Indonesia harus stop impor garam kalau tidak ingin melihat petani garam mati tercekik di tambaknya sendiri. Tentu bukan hanya garam semuanya. Berusaha benar-benar berdikari jangan setengah-setengah.

Sungguh bila kita masih bermimpi menikmati suasana indah di pantai kita harus bangun. Negeri ini sedang kurang sehat?

Nuril contoh nyata hukum kita tumpul keatas tajam kebawah. Ia tidak dilecehkan sembarang orang, tetapi oleh atasannya sendiri, yang kala itu menjabat Kepala SMAN 7 Mataram. Bukan sekali, pelecehan verbal itu telah berlangsung lama hingga akhirnya Nuril memutuskan untuk merekam pembicaraan yang dilakukan lewat telepon itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun