Mohon tunggu...
Bayu Kurnia Sandi
Bayu Kurnia Sandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang Mahasiswa yang tengah menempu pendidikan S1 di Universitas Airlangga

Saya tertarik pada bidang transportasi dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Korupsi Di Tengah Sstem Pemerintahan Desentralisasi

15 Juni 2022   22:43 Diperbarui: 19 Juni 2022   11:37 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : antikorupsi.org

Sistem pemerintahan pra reformasi  di Indonesia cenderung bersifat sentralistik. Pada waktu itu otoritas dan kewenangan tertinggi dalam segala aspek penyelenggaraan pemerintahan dimiliki oleh pemerintahan pusat. Hal ini menyebabkan tidak meratanya keadilan pembangunan di daerah. Disini timbul ketidakpuasan rakyat Indonesia karena sistem pemerintahan yang timpang. Ketidakpuasan ini mendobrak pemerintah agar mengganti sistem pemerintahan yang terpusat yang berdampak pada program kerja pemerintah yang tidak berjalan secara maksimal dan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.

Melalui Gerakan reformasi 1998  terbitlah sistem Sistem pemerintahan desentralisasi yang tertera dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33 Tahun 2004  Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat-Daerah. Dari pasal tersebut terbitlah otonomi daerah yang dimana pemerintah pusat wajib membagi setengah kekuasaannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk mengatur daerahnya masing masing

Dengan diterapkannya otonomi daerah diharapkan lapisan masyarakat terlibat pada pembangunan daerahnya dengan mengikuti kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pada era reformasi saat ini, dengan diubahnya sistem sentralisasi menjadi desentralisasi berimbas dengan lahirnya korupsi di tengah sistem desentralisasi. Banyak praktik korupsi di tingkat pemerintahan daerah akibat desentralisasi ini. Didapat dari data jejak kasus korupsi KPK dari tahun 2003-2019 terdapat 139 perkara yang bersangkutan dengan pejabat kepala daerah yang diketahui melakukan tipikor. 

Bergejolaknya Kasus korupsi akhir akhir ini menjadi perbincangan yang hangat di kalangan masyarakat, pasalnya masyarakat berharap pada para pemimpin yang sebelumnya dipilih pada ajang pemilihan 5 tahunan dengan iming-iming keadilan dan kesejahteraan bersama. 

Penyakit krisis moral yang diidap oleh pejabat publik ini seakan menjadi warisan turun temurun yang sulit untuk dihentikan. Sudah berbagai cara dilakukan untuk membebaskan negara ini dari korupsi, tetapi seakan sia sia melihat banyaknya pejabat yang melakukan tindakan tercela. Perkara ini masih menjadi pekerjaan segenap bangsa untuk memerangi korupsi, agar kedepannya Indonesia terbebas dan mewujudkan cita cita bapak pendiri bangsa yang tertulis dalam konstitusi negara

Pada tahun 2020 ICW (Indonesian Corruption Watch) menghimpun pemetaan korupsi yang menyasar lembaga mana yang paling banyak melakukan tindakan korupsi. Hasilnya lembaga pemerintahan daerah yang terlibat praktik korupsi sebanyak 149. 

Semua kasus korupsi tersebut menjangkit baik dari Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini menandakan penyakit korupsi ini menjangkit di segala tingkat pemerintahan. Maraknya Tindakan korupsi di daerah menunjukkan sistem desentralisasi menjadi persoalan utama terkait bebasnya praktik korupsi di daerah. Fakta ini akan terus berlanjut tanpa terputus jika regulasi mengenai korupsi terkesan ringan bagi pelaku. Para pelaku akan terlena dengan memiliki peluang untuk melakukan korupsi yang merugikan rakyat.

Lahirnya Undang-undang otonomi daerah ternyata tidak membawa hasil positif bagi pemberantasan korupsi, fakta sebaliknya korupsi tumbuh di era desentralisasi. Kesalahan pelimpahan kewenangan otonomi daerah kepada pemerintah daerah yang menjadi dominasi kekuatan para elit lokal. Mereka Menyusun regulasi dan aturan mengenai anggaran pengelolaan daerah yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum justru dimanipulasi yang rawan dengan tindakan korupsi.

Menurut Bauhr dan Nasiritousi, korupsi terjadi karena dua persoalan, yakni karena ada kebutuhan (corruption by need), dan karena sikap rakus untuk menumpuk kekayaan (corruption by greed). Namun, 2 hal penyebab itu terkesan simple. Dalam sistem desentralisasi kejadian korupsi meliputi 3 faktor, yaitu :

  1. pertama pelimpahan kewenangan kepada pemda tanpa adanya terlibatnya masyarakat dalam penentuan regulasi secara demokratis. Hal ini seakan memberikan jalan bagi elit lokal untuk mengelola potensi kekayaan daerah yang rawan tindakan korupsi. 
  2. Kedua, dalam pelaksanaan desentralisasi saat ini negara tidak mempunyai institusi yang mengontrol penyimpangan antara pemerintah pusat dan daerah.
  3. Ketiga Gagalnya anggota DPRD dalam mengemban tugas, pokok, dan fungsi sebagai perwakilan rakyat. Tupoksi sebagai Lembaga pengontrol eksekutif daerah malah ikut Kerjasama dalam aksi korupsi Bersama pemda.

Andras Sajo mengemukakan rumitnya situasi administrasi pemerintahan memaksa pejabat untuk melakukan korupsi. Dengan kata lain karena sistem administrasi yang tidak berpeluang untuk bebas korupsi para pejabat seakan terpaksa melakukan Tindakan tercela ini. Peraturan yang ruwet dan tidak jelas, struktur organisasi yang tidak fleksibel terkesan kaku, dan tugas yang terlalu luas,. Dalam kaitan ini, contoh yang dapat didapat ialah kasus korupsi yang menyandung Syamsul Arifin . Dulu Gubernur Sumatera Utara  dikenal sebagai pribadi yang santun, sopan, sederhana, dan merakyat. Sebagai pejabat yang memiliki karir gemilang Ketika menjabat sebagai Bupati Langkat selama dua periode tahun 1999-2008.  Namun nyatanya dia menjadi tersangka karena telah melakukan korupsi APBD Kabupaten Langkat yang merugikan negara dengan total nominal Rp 98,7 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun