Mohon tunggu...
Bayu Suntara
Bayu Suntara Mohon Tunggu... FREELANCER -

Freelance Journalist, Music n coffee addict,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kado dari TNI dan VRI untuk Indonesia Pintar

10 Agustus 2017   09:39 Diperbarui: 10 Agustus 2017   09:46 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Potret Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang beranjak menjadi negara maju khususnya di kawasan ASEAN, pada usia kemerdekaan menuju 72 tahun ini, masih menyimpan banyak persoalan yang masih sangat mendasar. Diantaranya menurut riset dari RTEI ( Right to Education Index) tahun 2017, kualitas pendidikan Indonesia masih berada di bawah Philipina dan Ethiopia. Salah satu indikatornya adalah rendahnya adaptibility yaitu ketersediaan pendidikan bagi para kaum marjinal dan terisolir masih belum sepadan dengan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Padahal pendidikan adalah jendela bagi tercapainya kemajuan suatu bangsa.

Di beberapa daerah di Indonesia, akses terhadap pendidikan formal masih menjadi warna kelabu bagi masyarakat khususnya di daerah yang secara geografis memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Satu persoalan disparitas pendidikan akibat akses yang terbatas masih belum teratasi, ada lagi persoalan-persoalan lain yang silih berganti mendera dunia pendidikan di Indonesia. Yang terparah adalah ketika politisasi lini pendidikan yang menjurus ke arah abusement berupa penyelewengan dana-dana operasional, sertifikasi guru hingga bantuan-bantuan infrastruktur yang juga masih disasar oleh oknum-onum yang tidak bertanggungjawab. 

Mungkin publik Indonesia sering mendengar tentang bangunan-bangunan sekolah yang roboh akibat kualitas yang buruk, hingga di awal Februari 2017 ada 17 murid dan 4 guru TK yang harus dilarikan ke rumahsakit akibat tertimpa bangunan sekolah yang roboh di Kabupaten Ngawi Jawatimur. Hal tersebut hanya satu dari sekian tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia selain persoalan infrastruktur bagi terbukanya akses pendidikan di daerah-daerah pelosok dan terisolir.

Masih hangat dalam ingatan kita tentang hal yang kemudian menjadi viral di media sosial beberapa waktu lalu ada sekelompok anak-anak di beberapa wilayah yang harus mempertaruhkan nyawanya hanya demi mencapai sekolah dengan melintasi jembatan-jembatan darurat bahkan ada yang harus berjalan melawan arus sungai yang sangat membahayakan. Gambaran tersebut bukan sebuah berita hoax melainkan sebuah realita yang harus dihadapi anak bangsa di era pembangunan ini.

Pembangunan dunia pendidikan memang senantiasa menjadi fokus tiap pemerintahan yang memimpin. Di era Presiden Jokowi misalnya, terdapat suatu semangat Nawacita di bidang pendidikan yang menitikberatkan pada program Indonesia pintar (pendidikan bebas pungutan dan wajib belajar 12 tahun), pendidikan kebhinekaan dan character building. Segala upaya terus dilakukan meski memang semuanya tidak semudah membalikan telapak tangan. Beberapa tantangan yang telah disebutkan sebelumnya hanyalah segelintir yang menjadi faktor penghambat, karena sesungguhnya dilapangan masih terdapat kompleksitas yang tidak mudah ditaklukan.

Gambaran betapa peliknya dunia pendidikan di Indonesia,  salahsatu contohnya nampak seperti yang terjadi di Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung. Di daerah tersebut masih ada anak-anak yang belum dapat mengenyam pendidikan sekolah formal karena jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke sekolah terdekat, dan tidak tersedia sarana transportasi yang diperlukan. 

Belum lagi latar belakang pendidikan orang tua yang relatif masih rendah, sehingga motivasi untuk mendorong pendidikan yang tinggi bagi anak-anak mereka juga menjadi berkurang. Para orang tua  umumnya beranggapan yang terpenting anaknya dapat membaca dan berhitung, sehingga nantinya bisa menjadi modal sebagai buruh nelayan atau bertani. 

Di daerah itu masih ada sejumlah masyarakat yang harus menaklukan alam karena untuk mencapai kampung lainnya baik untuk keperluan pendidikan dan memenuhi kebutuhan perekonomian harus menyusuri jembatan yang hanya terdiri dari beberapa utas tali di ketinggian sekitar 4 meter di atas sungai. Bukankah itu suatu keadaan yang sangat mengancam ditengah kondisi negara yang sedang giat membangun? lalu siapakah yang sekiranya peduli dan mampu mempelopori untuk membantu pemerintah dengan sedikit improvisasi dan semangat untuk mengurangi beban masyarakat itu?  

Banyak pihak yang turut peduli dan memikirkan bagaimana Indonesia dapat keluar dari masalah tersebut diatas. Salahsatunya adalah TNI AD dan Vertical Resque Indonesia yang saat ini sedang menggiatkan pembangunan jembatan-jembatan di daerah yang terisolir di beberapa tempat. Seperti yang sedang dikerjakan saat ini oleh Vertical Resque Indonesia (VRI) yang berasal dari Bandung dan Lampung, merupakan bagian dari Komunitas Panjat Tebing Merah Putih dan  TNI AD melalui Koramil 421-06/Natar Kodim 0421/Lamsel, Korem 043/Gatam bersama-sama dengan warga masyarakat yang bergotong royong membangun jembatan gantung di Sungai Way Sekampung yang menghubungkan antara desa Rulung Mulya Natar, Lampung Selatan dengan desa Batang Hari Ogan Tegineneng, Pesawaran, di Propinsi Lampung.

Korem 043/Gatam sebagai bagian dari Kodam II Sriwijaya memerintahkan jajarannya  untuk membangun jembatan yang diibaratkan menjadi kado bagi masyarakat di dua desa yang selama ini menantikan adanya jembatan penghubung itu. Jembatan  mulai dikerjakan pada hari Selasa (18/07/2017) dan direncanakan akan selesai dalam 7 hari. Ada sekira 16 prajurit Kodim 0421/Lampung Selatan, 23 orang dari VRI Bandung dan Lampung serta masyarakat setempat dengan anggaran swadaya dan sumbangan berupa tali sling dan besi dari VRI yang telah memprogramkan pembangunan jembatan sebanyak 100 titik di seluruh Indonesia.

Oleh karenanya, ditengah langkah pemerintah yang sedang fokus pada pembangunan infrastruktur berskala makro, TNI AD melalui program TMMD-nya senantiasa berupaya untuk mengurangi beban masyarakat khususnya di daerah pedesaan. Meski banyak misinterpretasi dari beberapa kalangan, salahsatunya yaitu laporan sebuah LSM Imparsial yang menyoal 30 nota kesepakatan antara TNI dan berbagai lembaga diantaranya keterlibatan dalam ketahanan pangan hingga ikut dalam urusan infrastruktur pedesaan, namun melalui peran kewilayahan/teritorial Angkatan Darat  yang dipayungi secara konstitusi, TNI tetap merasa perlu "Memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat di sekelilingnya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun