Mohon tunggu...
Bayu Pratama
Bayu Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Bekerja di BPS sejak tahun 2009

ASN di Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, Banten

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

KSA dan Data Pangan

16 Oktober 2018   15:16 Diperbarui: 16 Oktober 2018   17:43 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ekonomi.kompas.com)

Perbincangan mengenai "beras" mendadak menjadi trending topik. Rencana kebijakan pemerintah membuka keran impor disaat pencapaian swasembada, jelas akan menuai kontroversi.

Terlebih di momen menjelang kontes tahun politik terkait Pilkada 2019 yang sudah memasuki masa persiapan dan kampanye. Swasembada akan tetapi impor, bagaimana bisa?

Swasembada beras adalah salah satu cita-cita Negara Indonesia sebagai agraris dengan lebih dari 80% penduduknya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mengandalkan beras sebagai sumber bahan makanan pokok sehari-hari.

Jika target swasembada terpenuhi, artinya Indonesia mengalami surplus stok pangan yang berlimpah, dan lebih jauh hal ini menyiratkan sebuah prestasi dalam hal ketahanan pangan.

Sayangnya agenda ini masih memiliki banyak kendala, selain menghadapi masa depan pertanian yang suram karena kurangnya regenerasi petani muda dan kehidupan petani yang tak kunjung sejahtera.

Permasalahan lain yang seringkali menjadi bahan perdebatan adalah mengenai data tanaman pangan yang dinilai tidak akurat. Klaim pemerintah yang menyatakan stok beras surplus dan berlimpah, tak setali tiga uang dengan kondisi pasar.

Kenyataannya awal tahun ini stok beras langka, dan harga terus menanjak naik. Untuk itu, pemerintah bersiasat dengan rencana impor beras.

Jika menilik sejarah kebijakan terkait beras, langkah pemerintah melakukan impor beras dengan kondisi swasembada bukanlah sesuatu yang baru. Pada tahun 2012 misalnya, pada saat itu Indonesia telah mencapai swasembada beras dengan jumlah surplus beras sekitar 34 juta pon dari kebutuhan konsumsi beras nasional 3.303,5 juta ton.

Tetapi pemerintah tetap membuka keran impor dari Negara Vietnam sebesar 0,5 juta ton dan beberapa Negara lain dengan dalih ketahanan pangan dan mengurangi spekulasi harga beras di pasaran.

Data BPS mencatat bahwa Indonesia selalu mengimpor beras dari tahun ke tahun setidaknya sejak tahun 2010 hingga tahun 2017. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia telah mengimpor sedikitnya 16,89 juta ton beras. Selanjutnya, akhir bulan Januari 2018 ini pemerintah berencana membuka keran impor kembali sebanyak 500.000 ton.

Mendapati pro dan kontra terkait kebijakan beras beberapa waktu ini, Ombudsman Republik Indonesia pada 15 Januari 2018 lalu memaparkan laporan tentang temuan gejala maladministrasi dalam pengelolaan data dan impor beras.

Satu hal yang sangat mendasar dalam laporan tersebut adalah adanya temuan penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada publik.

Dalam hal ini, Ombudsman mensyinyalir bahwa Kementrian Pertanian selama ini selalu menyatakan surplus produksi beras dan kecukupan stok hanya berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa gejala kenaikan harga sejak akhir tahun 2017 tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar mengindikasikan kemungkinan proses markup data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.

Akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru.

Untuk diketahui bersama, selama ini data produksi pangan dihasilkan oleh Kementrian Pertanian (Kementan) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Kementan menyediakan data luas lahan sementara BPS melakukan penghitungan melalui survei ubinan untuk kemudian mengukur produktivitas padi.

Data produktivitas dikumpulkan dengan pengukuran langsung pada petak sampel yang disebut plot ubinan dengan ukuran 2,5m x 2,5m. Tanaman pangan seperti padi pada area plot tersebut kemudian dipanen sesuai kebiasaan petani untuk kemudian ditimbang.

Untuk menambah informasi, selain pengukuran langsung pada petak terpilih juga dilakukan wawancara pada petani petak terpilih tersebut. Informasi yang dikumpulkan mencakup cara penanaman, penggunaan pupuk, pengggunaan benih, serangan hama yang digunakan untuk mengevaluasi hasil pengukuran.

Selama ini keakuratan data luas lahan sawah masih dipertanyakan karena menggunakan proses pendekatan eye estimate atau pandangan mata.

Metode ini masih dianggap pendekatan terbaik yang dapat dilakukan namun memiliki sejumlah kelemahan, salah satunya metode ini dilakukan dengan menggunaka informasi luas baku lahan yang ada, kemudian dengan memandang hamparan fisik lahan diperkirakan luas tanam, luas panen, atau luas lainnya.

Metode ini seharusnya dilakukan oleh petugas yang ahli dan sangat mengenal wilayah tugasnya secara fisik, akan tetapi kenyataannya pergantian petugas di dinas setempat sering dilakukan.

Perlu diketahui hingga tahun 2010, BPS hanya melakukan survei dengan target estimasi hingga tingkat provinsi. Artinya hingga tahun 2010 BPS tidak menyediakan data produktivitas maupun produksi dengan maksud mempersiapkan metode penghitungan yang lebih akurat.

Sepanjang masa itu, BPS melakukan uji coba pengembangan metode baru yang dinamakan KSA (Kerangka Sampel Area). KSA merupakan survei berbasis area yang dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap sampel segmen dan bertujuan untuk mengestimasi luas dari sampel ke populasi dalam periode yang relatif pendek.

Bekerja sama dengan para peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), KSA dikembangkan dengan menggunakan teknologi era digital (HP berbasis android) dengan memanfaatkan citra satelit.

Pendekatan KSA diharapkan mampu menjawab penyediaan data dan informasi yang akurat dan tepat waktu untuk mendukung perencaan Program Ketahanan Pangan.

KSA pada prinsipnya membagi habis luas lahan baku menjadi grid. Grid dibagi habis menjadi segmen berukuran 300m x 300m, kemudian diambil sampel segmen tiap Kabupaten/Kota yang akan diamati fasenya dan dilaporkan melalui aplikasi KSA selama 12 bulan setiap minggu terakhir.

KSA mulai dilaksanakan pada awal tahun ini dengan obyek komoditas pertanian tanaman pangan khususnya padi. Jika dimungkinkan kegiatan ini akan diperluas untuk komoditas tanaman pangan lainnya.

Dengan metode ini diharapkan akan mendapatkan data luas lahan pangan yang lebih berkualitas yang menggambarkan kondisi sesungguhnya. Dengan data luas lahan pangan yang lebih akurat, tentunya penghitungan produksi padi menjadi lebih akurat karena luas lahan merupakan salah satu variabel dalam perhitungan produksi. Penghitungan produksi padi yang lebih akurat tentunya akan sangat mendukung perencanaan kebijakan dalam pembangunan ketahanan pangan nasional.

Penulis adalah Koordinator Statistik Kecamatan BPS Kabupaten Pandeglang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun