Mohon tunggu...
Bayu Indrakrista
Bayu Indrakrista Mohon Tunggu... -

Seorang pendengar musik lawas. Dari tahun berapapun hingga dekade 90. Dan berharap mendapatkan inspirasi darinya.\r\n\r\nMemiliki ketertarikan pada masalah sosial, (sedikit) politik, dan sejarah. Atau semacam itulah...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Si Duterte dan Si Petrus

7 Oktober 2016   20:01 Diperbarui: 7 Oktober 2016   20:11 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden baru Filipina, Rodrigo Duterte, tengah meniti jalannya menjadi pemimpin legendaris negara itu, barangkali untuk menjadi sejajar dengan Ferdinand Marcos dan Cory Aquino.

Dulu ketika masih berkampanye, bekas walikota Davao itu sering disamakan dengan kandidat Presiden AS, Donald Trump. Keduanya sama-sama senang mengeluarkan retorika yang keras dan mengabaikan HAM demi kepentingan konstituennya.

Tapi setelah menjabat, Duterte membuktikan dia pantas untuk mendapat perhatian sebagai dirinya sendiri; tidak lagi disama-samakan dengan orang dari belahan lain bumi. Ia membuktikan omongannya, yaitu akan mendorong pemberantasan narkotika dengan cara seganas mungkin. Didukungnya penindakan terhadap mereka yang dituduh sebagai pelaku peredaran narkotika sampai ke titik yang paling ektrem: pembunuhan tanpa proses hukum.

Diperkirakan kini telah ada lebih dari 3000 nyawa warga negara melayang di Filipina. Sekitar sepertiga dari seluruh pembunuhan dilakukan oleh kepolisian negara. Sementara sisanya – yang berarti dua kali lebih banyak – dilakukan oleh pihak lain yang tidak diketahui. Kemungkinan oleh sesame anggota masyarakat yang main hakim sendiri, terdorong oleh lontaran wacana Presiden Duterte.

Dampaknya bahkan sampai ke Indonesia. Dalam kunjungan perdananya itu, Duterte menarik Mary Jane Veloso kembali ke hadapan moncong senapan algojo Republik Indonesia. Kasihan Manny Pacquiao. Sudah kalah di ring lawan Mayweather Jr, sekarang kalah lawan Duterte dalam urusan membela Mary Jane. Rosa!

Pemberantasan Gali

Tindak tanduk Duterte mengingatkan kita pada ‘kebijakan’ pemerintah Orde Baru di Indonesia pada pertengahan dekade 80-an yang kita ingat dengan sebutan Petrus. Bukan Petrus penjaga pintu surga, tapi Petrus akronim untuk Penembak Misterius.

Tapi Petrus itu pun adalah nama julukan. Sebenarnya Petrus adalah serangkaian tindakan dari pemerintah – khususnya ABRI – untuk menindak tegas pelaku premanisme yang disebut gabungan anak liar atau gali. Ada Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), Operasi Celurit, dan lain-lain.

Kata ‘Misterius’ pada julukan Petrus juga terasa pas untuk menggambarkan sikap resmi pemerintah saat itu. Ada pihak dari dalam rezim yang terang-terangan mendukung program tersebut sebagai suatu hal yang perlu dilakukan untuk kebaikan yang lebih besar. Tapi ada juga petinggi militer yang gigih membantah keterlibatan angkatan bersenjata dalam rangkaian pembunuhan tersebut.

Meski terkesan biadab, sulit dipungkiri bahwa Petrus berjalan cukup efektif. Bapak mbok saya – dan orang-orang yang segenerasi – sampai sekarang masih rajin betul mendongengi saya dengan kisah masa itu. Betapa sebelum Petrus, keluar malam sama seramnya dengan acara Uji Nyali di televisi. Atau soal terbatasnya mobilitas warga biasa karena kawasan-kawasan tertentu benar-benar menjadi wilayah outlaw, buas seperti wild west.

Para penggemar puden grasa soklatit uterus meyakinkan saya untuk bersyukur bahwa saya bisa bebas melewati Jalan Gejayan jam berapapun tanpa rasa takut, sekarang ini.

Dilematis

Sekarang pertanyaannya, apakah tindakan ganyang yang dilakukan Duterte terhadap pengedar narkotika bisa dibenarkan atas nama kemaslahatan masyarakat Filipina? Apakah nantinya akan lahir Filipina baru yang bebas narkoba, sebagaimana jalanan kota-kota besar di Indonesia kini relative aman dari teror preman? Ataukah tindakan beringas yang diinisiasi dan dibeking Duterte akan menimbulkan dendam kesumat yang akan membakar negeri itu di masa depan?

Ada kelompok yang tentu saja mendukung tindak-tindak tegas macam Duterte dan Petrus. Lha daripada njlimet menindak orang jahat yang seringkali pandai bersilat pasal undang-undang, kan lebih enak kalau langsung habisi saja. Toh penjahat itu sudah lebih dulu melanggar hak orang. Bisa dipahami geram dan kesumat warga tak bersalah yang hidupnya hancur karena preman atau narkoba.

Nyatanya, sebelum Petrus, masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari cengkeram preman karena penindak hukum harus bertindak sesuai koridor hukum melawan orang-orang yang jelas mengabaikan hukum. Begitu pula sebelum Duterte berkuasa, system hukum yang berjalan di Filipina terbukti mandul dalam memberantas narkoba.

Ada pula kelompok lawan, yaitu mereka yang tidak suka cara-cara barbar yang ditempuh negara dalam menegakkan hukum. Dalam konteks negara hukum, bagaimanapun hukum harus ditegakkan tanpa kecuali, termasuk bagi aparat penegaknya sekalipun. Artinya, kita tidak boleh menjadi penjahat untuk mengehentikan tindak kejahatan.

Kelompok yang ini berpandangan bahwa cara-cara Petrus dan Duterte adalah wujud dari pemerintah yang malas. Malas untuk mencari solusi terhadap masalah hukum, lantas main darderdor seenaknya sendiri. Negara tidak bisa dibiarkan bertindak tanpa batas, apalagi jika tidak ingin dinyinyiri sebagai fasis.

Nah, tapi ada pula kelompok ketiga. Saya masuk dalam kategori ini, yaitu mereka yang tidak begitu saja menentukan sikap atas situasi yang rumit ini. Jangan hanya karena membaca satu baris judul berita online, lantas dengan mudahnya bereaksi. Entah di dunia nyata maupun di status medsos, sama saja.

 Dalam perspektif kelompok ini, situasi yang rumit pantas ditanggapi secara rumit pula. Bukan berarti orang-prang di sini tidak bisa menentukan sikap. Mereka bisa saja dengan gampang bilang kalau Dian Sastro itu cantik. Mengapa? Karena kecantikan Dian Sastro itu tidak mengandung kerumitan sama sekali.

Tapi situasi Duterte maupun Petrus dahulu sama sekali berbeda. Tindakan vigilante memang kerap terbukti efektif menghadapi fenomena kriminalitas yang tak kunjung sembuh dengan resep-resep legal. Tapi di sisi lain, cara itu juga bisa memicu ketagihan masyarakat. Ingat peristiwa Cebongan? Sekali masyarakat disuapi kekerasan, maka tinggal tunggu waktu mereka menjadi sakaw dan menuntut lagi diberi aksi koboi memberantas bandit.

Saya kira saat ini masih terlalu dini untuk menilai dampak Petrus secara benar-benar komprehensif, meski sadar betul bahwa sudah 30 tahun berlalu sejak peluru terakhirnya menembus tubuh gali. Apalagi untuk aksi garang Rodrigo Duterte yang baru berjalan dalam hitungan bulan itu.

Jadi sebelum terlanjur berkoar di medsos tentang setuju atau tidaknya Anda terhadap state-sponsored-violence, ada pertimbangan alternatif yang boleh saja dipakai: tidak semua situasi perlu buru-buru ditanggapi. Ini bukan lomba cerdas cermat kok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun