Mohon tunggu...
Bayu Angora
Bayu Angora Mohon Tunggu... Seniman - https://angora.me

https://angora.me

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Online

17 Maret 2016   06:23 Diperbarui: 19 Mei 2016   06:18 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, kita heboh dengan munculnya ojek online. Baru-baru ini, kita kembali heboh dengan munculnya taksi online. Sepintas kasusnya memang mirip, karena sama-sama bidang transportasi berbasis aplikasi online. Tapi sebetulnya ada perbedaan regulasi antara kendaraan roda dua dengan kendaraan roda empat.

Kasus demo ojek konvensional terhadap ojek online itu lebih ke faktor kalah saing. Ojek online sudah menggunakan teknologi aplikasi online, yg artinya jemput bola. Sedangkan ojek konvensional masih menggunakan cara manual, yg artinya hanya menunggu bola. Belum lagi dari segi fasilitas, harga, kemudahan, kenyamanan, dll.

Kalau mau bersaing sehat, kehadiran ojek online ini seharusnya menjadi bahan introspeksi dan motivasi bagi ojek konvensional supaya pelayanan mereka bisa lebih baik lagi. Mulai dari helm yg layak, harga yg jelas, dan juga kenyamanan. Jika tidak mau meningkatkan kualitas layanan, maka konsumen akan berpindah ke yg lain.

Pada kasus taksi online, kasusnya beda. Ini bukan konflik antara taksi online dengan taksi konvensional, karena taksi konvensional pun sebetulnya sudah memiliki aplikasi online sendiri. Yg menjadi konflik di sini adalah antara taksi resmi dengan taksi ilegal yg kebetulan juga berbasis aplikasi online.

Bedanya adalah, taksi resmi memiliki badan usaha, wajib membayar pajak, harga diatur oleh pemerintah, dll. Hal ini juga bisa dilihat dari plat nomornya yg kuning, alias plat nomor untuk kendaraan umum. Sedangkan taksi ilegal plat nomornya hitam, karena dasarnya memang mobil pribadi, tapi malah dijadikan sebagai kendaraan umum.

Zaman dulu ada istilah mobil preman atau mobil gelap. Yaitu semacam mobil pribadi berplat nomor hitam yg sengaja dijadikan kendaraan umum dan merebut para penumpang yg seharusnya menjadi jatah angkot resmi berplat nomor kuning. Tentu saja para pengusaha dan pengemudi angkot resmi banyak yg protes. Dan kasus ini terjadi jauh sebelum adanya smartphone.

Kalau mau fair, jangan dilihat dari aplikasinya. Karena aplikasi online hanyalah media untuk mempermudah komunikasi kepada konsumen. Sama seperti halnya telfon, sms, bbm, whatsapp, dll. Dan media komunikasi seperti ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Pemberlakuan regulasi yg fair dan tegas seharusnya bisa menjadi penengah untuk kasus ini.

Sekarang tinggal pilih. Kalau mobil pribadi berplat nomor hitam boleh berkeliaran mengangkut penumpang sebagai kendaraan umum, maka semua angkutan umum yg selama ini berplat nomor kuning pun boleh menjadi kendaraan berplat nomor hitam supaya bisa seenaknya berkeliaran tanpa bayar pajak sesuai regulasi.

Atau taksi ilegal berplat nomor hitam yg mengikuti regulasi supaya bisa setara dengan taksi resmi berplat nomor kuning, yg telah lebih dulu membayar pajak sesuai regulasi. Dan memang seperti itulah seharusnya.

Sekarang ini sudah zamannya serba online. Mulai dari urusan keuangan, perasaan, keimanan, hingga selangkangan, semuanya serba online. Meskipun demikian, kita jangan sampai lupa ibadah. Maksudnya, jangan sampai lupa ibadah online, di tembok ratapan Facebook.

- Bayu Angora

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun