Mohon tunggu...
Bayu AdjiWibowo
Bayu AdjiWibowo Mohon Tunggu... Desainer - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur Jakarta

Sarjana seni Desain Komunikasi Visual dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, saat ini sedang menempuh Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Budi Luhur Jakarta untuk meraih gelar S2.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kehadiran Jurnalisme Warga di Media Sosial Sebagai Evolusi Media Pemberitaan

5 Juli 2021   13:01 Diperbarui: 5 Juli 2021   13:06 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media sosial saat ini tengah mengalami perkembangan yang sangat pesat di seluruh dunia, baik dari jenisnya, kegunaannya, dan peruntukkannya. Bila kita perhatikan hampir setiap orang di seluruh dunia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, baik itu hanya untuk sekedar bertegur sapa, menyebarkan informasi, menjalin silaturahim, kritik sosial, hingga untuk kepentingan bisnis, dan lain sebagainya.

Menurut data terakhir datareportal.com ada 4,33 triliun pengguna media sosial di seluruh dunia pada awal 2021 atau sebanding dengan lebih dari 55% total global populasi dan menurut survey (statista.com) pada tahun 2020 saja Indonesia sudah menempati urutan ke-3 sebagai negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia dengan total 198,96 juta orang pengguna. Penghitungan ini berdasarkan dari pemakai internet yang menggunakan media sosial setidaknya satu kali dalam sebulan (Kemp & Kepios Team, 2021)

Media Sosial
Bila berbicara mengenai media sosial ada baiknya kita mengerti dulu definisi kata “sosial” dalam media sosial. Kata “sosial” dalam media sosial semestinya didekati oleh ranah sosiologi. Ada pertanyaan dasar, seperti apakah individu itu? Individu adalah manusia yang selalu berkarakter sosial atau individu itu baru dikatakan sosial ketika ia secara sadar melakukan interaksi. Bahkan, dalam teori sosiologi disebutkan bahwa media pada dasarnya adalah sosial karena media merupakan bagian dari masyarakat dan aspek dari mastarakat yang dipresentasikan dalam bentuk perangkat teknologi yang digunakan (Dr. Rulli Nasrullah, 2017, p. 6). Kebutuhan akan berinteraksi dan bersosialisasi inilah yang kemudian melahirkan berbagai macam dan ragam cara untuk berkomunikasi.

Untuk melakukan kegiatan berinteraksi ini diperlukan sebuah alat yang kita bisa sebut dengan media. Pengertian media cenderung lebih dekat terhadap sifatnya yang massa. Namun semua definisi yang ada memiliki kecenderungan yang sama bahwa ketika kita mendengar kata “media” yang ada dalam pikiran kita adalah sarana yang disertai dengan teknologinya. Koran dan majalah adalah representasi dari media cetak, radio dan televisi sebagai media audio-visual adalah representasi dari media elektronik dan internet merupakan representasi dari media online (Dr. Rulli Nasrullah, 2017, p. 3)

Jurnalisme Warga
Seiring dengan perkembangannya, media sosial memberi pengaruh yang luar biasa terhadap aspek jurnalisme di dunia termasuk di Indonesia, tren Citizen Journalism atau jurnalisme warga di era digital ini meningkat dengan pesat. Banyaknya berita-berita yang dibuat oleh warga yang dengan mudah dapat disebar luaskan melalui media sosial menjadikan media sosial sebagai salah satu pilihan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Jurnalisme warga adalah kegiatan partisipasi aktif dalam proses pengelolaan informasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam penyampaian informasi dan berita

Jurnalisme warga mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers agar menghasilkan berita-berita yang dapat dipercaya. Pewarta warga menyusun berita dengan cara pandang warga. Jurnalisme warga merupakan wujud kesadaran warga atas pentingnya keterlibatan warga dalam mengelola informasi. Pasalnya, media massa arus utama (komersial) tidak dapat berpihak sepenuhnya terhadap kepentingan warga. Ada banyak alasan yang menjadi penyebabnya, mulai dari masalah teknis, keterbatasan halaman atau durasi, hingga persoalan ideologis yang menyangkut kepentingan pemilik media massa (Harahap, 2015)

Pengaruh Jurnalisme Warga di Indonesia
Sudah banyak kejadian-kejadian besar di Indonesia yang berawal dari jurnalisme warga, seperti kasus penistaan agama oleh Ahok (2016), dimana dalam sebuah pidato Ahok menyisipkan Surah Al Maidah ayat 51 yang diunggah di akun Youtube resmi Pemprov DKI Jakarta yang kemudian menyebar di media sosial. Seorang dosen bernama Buni Yani lantas menterjemahkan ulang video tersebut lalu mengunggahnya kembali lewat akun Facebook miliknya yang lantas menjadi viral dan memicu permusuhan bernuansa SARA. Contoh lainnya adalah di masa pandemi Covid 19 ini banyak sekali akun media sosial yang menginformasikan cara pencegahan agar tidak tertular virus Covid 19 ataupun obat yang dapat digunakan agar dapat cepat sembuh bagi yang sudah positif tertular Covid 19, akun ini milik warga biasa dari berbagai macam profesi baik itu tenaga medis atau profesi lain yang sudah pernah tertular virus Covid 19 sehingga mereka menyebarkan informasi berdasarkan pengalaman mereka pribadi.

Di luar baik buruknya pengaruh jurnalisme warga ini, kita dapat melihat dan merasakan kehadiran jurnalisme warga di media sosial ini sebagai bagian dari evolusi media pemberitaan yang sedang terjadi. Hal ini sangat relevan terjadi bila kita teliti lewat paradigma Postmodernisme, dimana Postmodern(isme) dapat disimpulkan sebagai perubahan budaya (mulai dari gaya hidup hingga paradigma berpikir) yang terjadi sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Konsekuensi perubahan yang luar biasa itu adalah (salah satunya) paradigma modern tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk memahami dan menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh (postmodern). Karena itu, berbagai kritik terhadap aspek-aspek kebudayaan dan paradigma modern bermunculan dan itu menggunakan pemikiran baru yang disebut dengan postmodernisme. Salah satu ciri yang terpenting dari postmodernisme adalah penolakan terhadap fundasionalisme (Lubis, 2016, pp. 24-25).

Kesimpulan
Penulis mencoba menganalogikan fenomena ini seperti apa yang terjadi dengan evolusi komunikasi lewat telepon. Ketika telepon pertama kali ditemukan oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1876 warga dunia takjub dan bergembira, karena dengan telepon memungkinkan seseorang untuk berbicara dari rumah/kantor dengan orang lain yang berada jauh dari tempatnya tanpa harus bertemu langsung, seiring dengan kemajuan teknologi dan tuntutan kebutuhan kita ingin agar dapat berbicara lewat telepon ketika sedang berada di jalan atau berada di tempat umum, maka di temukanlah telepon umum. Selanjutnya kita membutuhkan berbicara lewat telepon dengan orang lain dimanapun dan kapanpun saat kita butuhkan, maka ditemukanlah telepon genggam. Dan sekarang kita membutuhkan berbicara lewat telepon sekaligus bertatap muka dengan lawan bicara kita melalui layar, maka lahirlah telepon genggam pintar (smartphone) yang sekarang ini selalu kita gunakan baik untuk berkomunikasi ataupun kebutuhan lainnya. Jadi segala sesuatu akan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi dan tuntutan kebutuhan, dalam bahasa penelitian dapat diwakilkan dalan paradigma Postmodernisme, dimana paradigma modern yang sudah ada tidak cukup relevan atau memadai lagi untuk memahami dan menjelaskan kebudayaan yang tengah tumbuh.

Daftar Pustaka

Candra, N. (2010, Juli). Perkembangan Media Penyiaran Televisi - Menjadikan Televisi Sebagai Kebudayaan Masyarakat. Jurnal Seni Media Rekam, 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun