Mohon tunggu...
Bayu Aktami
Bayu Aktami Mohon Tunggu... Dosen - *

*

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila, Masihkah Dibutuhkan? (II)

21 Mei 2019   09:58 Diperbarui: 24 Mei 2019   07:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pancasila sebagai sebuah pemikiran ada, tapi sejauh mana pemikiran itu mendasari tindakan negara dan warga negara? Dalam praktek kehidupan dewasa ini, sektor ekonomi adalah yang utama memegang peran. Ekonomi global berdiri atas dasar prinsip kapitalisme, di mana kekuatan modal menjadi pokok penentu siapa yang dapat memiliki lebih. Prinsip ekonomi global ini, mau tidak mau membuat Indonesia harus mengikutinya. 

Tidak ada satupun negara di dunia ini yang berhasil menolak sistem kapitalisme ekonomi. Tiongkok sebagai negara yang jelas-jelas menyatakan diri komunis, dalam praktek ekonominya sangat kapilatistik.

Dalam politik, Indonesia memilih jalan demokrasi. Namun, demokrasi kita banyak berkiblat ke barat. Ini mengandaikan kesadaran bangsa Indonesia itu sendiri bahwa Pancasila belum mampu membentuk sebuah sistem penyelenggaraan negara yang ideal, sehingga akhirnya harus mengadopsi dari negara-negara yang basis ideologinya bukan Pancasila, melainkan liberal misalnya. 

Dalam hal ini, ada kecenderungan untuk mengambil praktek-praktek dari negara barat karena dianggap sukses, diterapkan langsung tanpa terlebih dahulu didiskursuskan dengan Pancasila. Sehingga praktek-praktek itu berorientasi pada ideologi yang bukan lagi berbasis pada Pancasila, dan ini secara perlahan tapi pasti menggerus Pancasila dari pemikiran bangsa Indonesia, terutama pada generasi muda sebagai penerus bangsa yang banyak menggali ilmu langsung dari literatur-literatur barat tanpa pernah tahu Pancasila itu sendiri.

Paling-paling sektor kehidupan yang kita masih sering merujuk kepada Pancasila adalah sektor hubungan antar-agama. Dalam membentuk hubungan antar-agama, Pancasila cukup besar perananannya. Hanya saja kasus-kasus intoleran masih banyak terjadi, menunjukkan itu juga tidak sungguh-sungguh berhasil sepenuhnya. 

Politik identitas berbasis agama masih terjadi, menunjukkan Pancasila tidak sepenuhnya mampu merekat agama-agama yang ada. Sentimen terhadap agama lain, dalam beberapa bentuk terjadi. 

Dalam hal ini, Pancasila belum masuk ke dalam lubuk hati untuk menyadari arti solidaritas antar-agama. Kalaupun ada, masih ditahap formalitas dan basa-basi di kehidupan sosial, belum menjadi keyakinan yang mendalam di dalam hati untuk menghargai perbedaan iman.

Jika kita mengikuti tafsir Bung Karno tentang inti pokok Pancasila adalah gotong-royong. Sekarang kita bertanya: sejauh mana praktek gotong-royong itu masih menjadi bagian hidup bangsa Indonesia? 

Justru kelihatannya gotong-royong mengalami pergeseran makna dalam narasi kehidupan berbangsa kita sekarang. Gotong-royong sekarang memiliki makna yang dipahami cenderung sebagai suatu tindakan yang bersifat kolutif, misalnya: bergotong-royong melakukan korupsi, bergotong-royong untuk memenangkan kelompok sendiri (dengan mengabaikan kelompok lain), bergotong-royong dalam mengerjakan ujian (mencontek), dll.

Padahal kalau kita lihat semangat gotong-royong dalam Pancasila termaktub dalam sila ke-4: mufakat. Dalam mufakat, tidak ada satu orang pun yang tinggal satu (ditinggalkan), semua terakomodir dalam kepentingan semua. Sebagaimana Bung Karno menyebutkan: "semua untuk semua", tidak ada yang ditinggalkan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun