Mohon tunggu...
Bayu Aktami
Bayu Aktami Mohon Tunggu... Dosen - *

*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat Mendukung Agama untuk Tidak Menjadi Sesat

3 Agustus 2017   10:30 Diperbarui: 7 Agustus 2017   05:55 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa beda agama dan filsafat?

Agama mengklaim sudah menemukan kebenaran. Kebenarannya bersifat mutlak. Ajaran-ajaran di dalam agama diterima sebagai suatu yang telah sempurna. Sedangkan filsafat memeriksa kesahihan suatu klaim atas kebenaran. Filsafat menguji kesempurnaan itu, mencoba mencari bolong-bolong dalam klaim kesempurnaan itu.

Dalam hal ini memang kelihatannya agama dan filsafat bertentangan bagai air dan minyak. Namun pertentangan itu berguna, mengapa?

Kekerasan atas nama agama justru muncul karena adanya klaim kemutlakan itu. Akan tetapi klaim kemutlakan juga justru yang membuat agama berguna bagi kehidupan manusia. Agama memberikan janji yang sangat yakin dan pasti sebagai obat penawar bagi jiwa manusia yang gelisah. Kemutlakan itu memberi rasa aman. Rasa aman menjamin hidup yang harmonis baik di dalam diri maupun dalam interaksi dengan orang lain.

Namun rasa aman ini tidak abadi karena kemutlakan itu tidak melekat pada diri manusia. Kemutlakan itu ada di luar sana jauh dari manusia, jikapun manusia menjadi dekat dengan kemutlakan, itu hanya sentuhan seketika. Hanya sesaat mereka merasa tentram dan berikutnya mereka akan gelisah lagi. Munculnya kembali rasa gelisah atau khawatir menjadikan manusia mencari biang keladinya. 

Hal yang paling terlihat dari segala biang keladi itu adalah semua yang bertentangan dengan apa yang dipercayanya sebagai yang mutlak (yang ideal atau yang sempurna) itu. Lalu, muncullah sikap menyalahkan kepada segala hal yang tidak sesuai dengan apa yang dipercayainya, di mana yang dipercayainya itu sesungguhnya apa yang diharapkannya namun tidak mungkin hadir baginya. Kepercayaan itu menjadi kekecewaan. Kekecewaan menjadi amarah. Itulah mengapa agama selalu dekat dekat kekerasan. Kepercayaan, kekecewaan dan amarah selalu bergeser silih berganti di dalam diri manusia.

Filsafat mencoba mengambil jarak dari kepercayaan agar manusia tidak terlalu mudah kecewa (manakala sesuatu tidak sama dengan yang dipercayainya). Tidak terlalu mudah kecewa menjadikan pula diri tidak mudah tenggelam dalam amarah. Jauh dari amarah jauh pula dari sifat kasar dan keras. Justru menjadi lembut ini pulalah tujuan adanya agama. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun