Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terlalu Seksi, Permendikbudristek PPKS Jadi Rebutan Tanpa Persetujuan Korban

15 November 2021   04:00 Diperbarui: 15 November 2021   05:56 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bentuk penolakan tindakan seksual (today.line.me)

Pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan kejahatan seksual di atas dunia ini harus dihapuskan karena bertentangan dengan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan hukum.

Jauh sebelum permendikbudristek PPKS lahir, orangtua adalah garda utama dan pertama yang menjaga, mencegah, dan melindungi putra-putrinya dari tindakan amoral yang dilakukan oleh orang lain, termasuk keluarga sendiri. Hingga kini pun, peran orangtua tersebut tidak tergantikan dan terbantahkan oleh siapa pun.

Bagaimana orangtua melakukan hal tersebut? Penanaman karakter, pemahaman bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, dan pengenalan tindak kejahatan seksual yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Tentu langkah tersebut disampaikan secara bertahap, mengikuti tumbuh kembang anak. Jadi, perlindungan anak dari kejahatan seksual sudah ada sejak anak usia dini di keluarga.

Lantas mengapa ada perilaku asusila, ketika semua orangtua telah memberikan pemahaman akan perlindungan diri terhadap kejahatan seksual pada anak dahulu? Kita sadari, diri kita adalah manusia. Memiliki pola pikir yang berubah-ubah, nafsu, dan didikan yang beragam menjadi landasan dasar terbentuknya motivasi dan dorongan untuk melakukan pelecehan, kekerasan, dan kejahatan seksual.

Ketika kita sudah punya prinsip, pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan kejahatan seksual di atas dunia ini harus dihapuskan karena bertentangan dengan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan hukum. Maka jelas, tidak akan tercipta permasalahan hari ini. Yang mana, korban pelecehan, kekerasan, dan kejahatan seksual terus bertambah dari tahun ke tahun, itupun belum termasuk data kasus yang disembunyikan (diselesaikan dengan kekeluargaan).

Masalah ini sebenarnya bukan masalah baru, akan tetapi karena tempatnya mengalami perubahan lokasi (sektor pendidikan) menjadi hal yang seksi untuk diperbincangkan. Sebuah dunia pendidikan dengan latar belakang memberikan pengajaran yang bermutu guna mencerdaskan kehidupan bangsa (bukan hanya tahu hasil perkalian dua kali lima, rumus percampuran air dan oksigen, paham perjuangan pahlawan mengusir penjajah), yakni menanamkan karakter berbudi luhur, berakhlak mulia, dan bermartabat, kok jadi sarang tindak perilaku kejahatan seksual?

Sejatinya, bila masalah ini bukan terjadi di dunia pendidikan, mungkin lain ceritanya. Sebab secara kriminologi, pelaku dan korban adalah orang dewasa, jadi sudah sadar hukum, tahu konsekuensinya, dan dapat dipidana. Urusannya gampang, kalau tidak perkosaan ya percobaan perkosaan (tanpa persetujuan korban), maupun penindakan pasutri ilegal pada payung pekerja seks komersial.

Tetapi, berbeda dengan dunia pendidikan, yang mayoritas tindakan tidak bermoral itu datang dari pendidik (terutama, laki-laki). Seseorang yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, malah membuat kerusuhan dan menebar kejahatan bagi generasi penerus bangsa. Motifnya bervariasi; kurang jatah istri, tergoda dengan kemolekan siswi atau mahasiswi, punya niatan, bahkan tanpa disengaja (khilaf).

Alasan yang sangat gak masuk akal dan bernalar binatang. Tapi ya itu tadi, semua dilandasi oleh nafsu. Sebisa mungkin, siapa pun kita harus selalu dapat menahan nafsu (dalam konteks seksual), apalagi disalurkan ditempat yang tidak tepat. Bahaya. Memang sulit, jika dibiarkan membuat diri kita menjadi liar dan tentu melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum.

Jika keributan permen Nadiem tentang PPKS ditengarai oleh tanpa persetujuan korban, yang ditafsirkan menjadi melegalkan perzinahan. Ini keliru sekali. Segala tindakan seksual, apabila dilandasi dengan keberatan atau penolakan tindakan seksual yang akan dilakukan oleh orang lain kepada diri kita (bahkan suami sekalipun), menjadi sebuah aturan atau hukum. Apabila dipaksakan, maka terjadilah pelanggaran hukum atau aturan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun