Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mega Konsep Pertanian Modern, Antara Berhasil (Kecil) dan Gagal (Besar)

14 November 2021   21:51 Diperbarui: 14 November 2021   22:04 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan teknologi pertanian berupa mesin pemanen padi (nasional.tempo.co)

Menekuni profesi petani, anggaplah petani milenial, tidaklah mudah. Banyak hal yang mesti dilakukan, tidak asal-asalan. Butuh perencanaan yang matang dan pengawasan ketat agar tercipta kesejahteraan petani.

Pada awalnya, orang bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Menanam padi agar punya persediaan beras hingga setahun ke depan, menanam jagung supaya dapat makan nasi jagung dan pakan ayam, dan menanam palawija untuk bisa merasakan kenikmatan buah terong, pedasnya cabai, hingga gurihnya kacang panjang, dan renyahnya kacang tanah.

Namun sekarang, bahkan sudah dimulai sejak dekade 70-an, petani mulai intens mengembangkan hasil pangan dengan berbagai macam teknik dan mengubah kendali cangkul dari hanya sebatas memenuhi kebutuhan pangan keluarga menjadi kebutuhan pangan seluruh masyarakat, ketahanan pangan nasional.

Mulai masuknya berbagai teknologi pertanian dan pengolahan hasil pertanian. Hadirnya mesin pembajak sawah, membuat proses awal pertanian menjadi lebih efektif dan efisien, ketimbang membajak sawah dengan tenaga hewan (sapi dan kerbau). Kini, proses menanam padi misalnya sudah menggunakan mesin. Pekerjaan jadi lebih cepat dan kerapatan tanaman dapat dimaksimalkan dengan lahan garapan. Begitupun dengan proses panen padi. 

Akan tetapi, pernahkah kita melihat seberapa besar kerugian sosial akibat teknologi pertanian dan seberapa kecil keuntungan penggunaan teknologi pertanian?

Indonesia (masih) disebut sebagai negara agraris. Ketersedian lahan pertanian terluas dan masyarakat yang bekerja di bidang pertanian cukup banyak menjadi kunci utama penyematan negara agraris. Terlepas dari tonase hasil pertanian yang fluktuatif dari tahun ke tahun. Meski kenyataannya, Indonesia kekurangan bahan pangan, beras impor, kedelai impor, bawang juga impor, dan sebagian lainnya juga dipenuhi dengan mendatangkan hasil pertanian negara tetangga.

Satu hal yang pasti untuk menjadi petani. Sebut saja ketersediaan lahan garapan. Petani itu identik dengan tanah, tak punya tanah garapan ya bukan petani. Terlepas dari status tanahnya, baik kepemilikan sendiri, sewa, bahkan pinjam pakai. Bukannya ada pertanian hidroponik? Kan gak harus tanam tanaman di tanah? Benar memang, tapi tetap membutuhkan tanah guna menopang rangka media tanamnya. Walaupun dibangun di atap rumah, ya tetap butuh tanah (pijakan rumah).

Apakah cukup tanah saja? Tidak, masih ada hal yang menjadi darah untuk menggarap tanah tersebut, yakni ketersediaan modal (uang). Tanpa uang, seluas apapun tanah yang kamu miliki, gak akan menumbuhkan sebatang padi sekalipun. Ironinya, permasalahan modal inilah yang menjadi momok besar lambannya kemajuan dari sektor pertanian.

Petani Indonesia bukanlah orang kaya raya yang bermain saham, investasi properti, jual beli emas, bahkan pemilik perkebunan sawit. Mereka adalah orang yang hidup penuh kesederhanaan, modal tani kembang kempis, putra semata wayang ogah bertani, dan teknologi pertaniannya masih kuno. Dari sini, kita sudah tahu, dunia pertanian bukanlah tempat yang menguntungkan, kalau mengenyangkan barulah tepat. 

Besar pasak daripada tiang, sering dihadapi para petani. Akankah kaum muda bakal menceburkan diri ke dalam tanah air (lumpur) itu? Saya dan kamu pasti yakin, akan ada waktunya mereka (kaum muda atau generasi milenial) bermandikan keringat akibat berpanas-panasan di bawah terik mentari pagi di tengah hamparan padi, jangung, dan palawija.

Tak berhenti di situ, kemampuan menggarap sawah atau ladang juga menjadi faktor keberhasilan bertani. Ini berkaitan dengan soft skill dan hard skill. Memprediksikan kebutuhan pangan ke depan yang paling dicari masyarakat, mengatur pola pertanian terhadap cuaca yang terjadi, bahkan perencanaan pertanian yang efisien, hingga ketekunan, ketelitian, kesabaran, dan kerja keras wajib dimiliki oleh seorang petani dalam menggarap lahan pertaniannya.

Melihat tiga poin tersebut, akankah mega konsep pertanian modern (penggunaan teknologi dan pengelolaan hasil pertanian) memberikan dampak yang besar bagi kesejahteraan petani bahkan masyarakat sekitar, baik dari segi ekonomis dan sosial?

Penggunaan tenaga manusia dalam sektor pertanian mulai tersisih akibat penggunaan teknologi pertanian (bem.upn.ac.id)
Penggunaan tenaga manusia dalam sektor pertanian mulai tersisih akibat penggunaan teknologi pertanian (bem.upn.ac.id)

Mayoritas petani berasal dari strata ekonomi kecil dan menengah, luas lahan garapan di bawah 2 hektar dengan rata-rata tanah garapan hanya 0.4 hektar saja. Ini melihat data petani yang masuk ke dalam poktan (kelompok tani), sebab syaratnya adalah luas tanah garapan sama dengan atau di bawah dua hektar.

Lahan di atas 1 hektar, masih mungkin menggunakan teknologi pertanian, sebab selain harga sewa mesin (masih terbatas dan mahalnya mesin pertanian dan hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat, di Lumajang dapat dihitung jari siapa saja pemilik mesin teknologi pertanian seperti, penanam padi dan jagung, pemanen padi dan jagung) yang lebih ringan ketimbang menggunakan tenaga manusia, waktu yang diperlukan menyelesaikan proses tanam atau panen lebih singkat dan hasil panen pun lebih banyak (ndak kalong mergo mboten diparingaken tiyang-tiyang sedoyo) daripada panen dengan sistem tradisional.

Akan tetapi, bilamana lahan kita sedikit dan memaksakan diri menggunakan mesin pertanian (biar dianggap tidak ketinggalan zaman), rugilah kita. Biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima setelah panen. Rugi bandar. Jadi, teknologi pertanian tepat guna digunakan oleh petani kasta atas atau yang berkecukupan, baik lahan yang luas dan modal yang besar.

Penggunaan teknologi pertanian, mesin penanam dan pemanen padi dan jagung, sebab yang sudah ada di sekitar saya ya dua mesin itu saja, sebab kedua kegiatan pertanian tersebut padat karya (banyak orang yang terlibat). Tapi semenjak menggunakan teknologi pertanian tersebut, mereka orang yang menggantungkan hidup di sektor pertanian (buruh tani) selain penggarap lahan pertanian, terpinggirkan dengan amat jauh. Semacam terjadi pemangkasan birokrasi. Lebih efektif, efisien, dan memberikan keuntungan lebih besar kepada petani. Sehingga, lambat laun tercipta kesejahteraan petani yang lebih baik. 

Kembali lagi kepada pertanyaan di atas! Untuk saat ini (2021) masyarakat Indonesia yang bertahan hidup di sektor pertanian masih sangat banyak ketimbang pelaku sektor pertanian itu sendiri. Dengan berat hati, belum mampu mengubah tata kelola pertanian tradisional menjadi modern secara langsung dan bersamaan, masih jauh dari kata kesejahteraan petani. Bilamana dipaksakan akan menciptakan permasalahan akut seperti, pengangguran, kemiskinan, dan kelaparan yang lebih parah. 

Jadi, apa tindakan kamu sebagai petani milenial saat ini?

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun