Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret Pendidikan Anak Perempuan terhadap Kepemimpinan Perempuan

4 April 2021   11:10 Diperbarui: 5 April 2021   19:23 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan yang sukses memimpin bisnis (foto dari pixabay/089photoshootings)

Zaman dahulu, anak perempuan tidak mendapat tempat untuk menikmati sepatah kata ilmu pengetahuan, pendidikan. Sangat dilarang. Berbanding terbalik dengan masa sekarang, masa teknologi digital, anak perempuan memperoleh porsi besar akan pembelajaran. Namun, masih adakah anggapan anak perempuan tidak layak mendapat pendidikan?

Pendidikan perempuan Indonesia, tak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan Raden Ajeng Kartini dalam pengupayaan pendidikan bagi anak perempuan. Melalui pendidikan, perempuan jauh lebih dihargai, dihormati, dan dipandang mapan.

Perempuan tumbuh dengan didikan menjadi seorang pengabdi, abdi laki-laki, abdi suami. Tak lebih dari itu. Hanya itu saja. Perempuan cuma ditempatkan di belakang, di dapur. Tempat inilah, dapur, para perempuan menjadi perempuan seutuhnya.

Anak perempuan hanya dibekali pengetahuan akan pengabdian. Pengabdian pada satu subjek, orangtua dan atau suami. Tidak boleh mengabdi pada masyarakat, mengabdi pada negara, dan mengabdi pada nusa bangsa. 

Aturan tak tertulis yang tertanam kokoh dalam pemikiran budaya masyarakat. Harus ditaati, harus dipatuhi, dan harus dijalankan di masa mendatang.

Sebagian kecil masyarakat masih menganggap perempuan tidak layak berpendidikan. Potret pendidikan di pedesaan. Perempuan tak mendapat sambutan hangat ketika memilih menuntaskan pendidikan wajib belajar dua belah tahun. Tamat SMA. Itupun dihitung mulai SD.

Masyarakat dengan sendirinya bakal mencibir orangtua yang memiliki anak perempuan dan menyekolahkan hingga tamat SMA. Ini hanya tamat SMA. Bayangkan bila tamat sarjana. 

Bom molotov siap menghujan tiap hari di depan rumah. Dahsyat bukan? Benar-benar perempuan tidak mendapat tempat menikmati keindahan ilmu pengetahuan. 

Memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak perempuan, sama halnya dengan menghambur-hamburkan uang. Gak ada gunanya. Toh ujung-ujungnya ada di dapur, sumur, dan kasur. 

Pola pemikiran seperti itu, harus dibuang jauh-jauh. Sangat gak berfaedah. Anak perempuan bukan calon pembantu rumah tangga, bukan calon pajangan rumahan, dan bukan calon pemuas nafsu suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun