Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mas Nadiem, Kapan Sekolah Tatap Muka Lagi?

14 Agustus 2020   06:54 Diperbarui: 14 Agustus 2020   08:05 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pandemi yang melanda Indonesia dan dunia. Berefek samping dahsyat. Salah satunya pada bidang pendidikan. Bagaimana tidak? Sistem pendidikan yang semula normal-normal saja berubah drastis 375 ° (tiga ratus tujuh puluh lima derajat). Bayangkan? Luber.

Kacau. Sistem pendidikan kita saat ini sedang rusuh. Satu pihak meminta menerapkan sekolah tatap muka berlangsung dengan protokol kesehatan maksimum. Lain pihak menawari sistem belajar daring.

Selain itu, kemarin juga ada pengesahan kurikulum darurat guna menyikapi sistem pendidikan kala pandemi. Malah bikin ruwet. Walau, dampaknya hanya dirasakan oleh sebagian kalangan saja. Tidak merata. Ada pilihan atau opsi tiap satuan pendidikan. Bebas pilih.

Itu urusan pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Saya sebagai wali murid sekaligus mahasiswa merasakan betul dampak keras luar biasa pembelajaran daring. Susah, riweh, payah, capek, kesal, semuanya. Tumpah di kepala saya. Adik saya. Orang tua saya.

Saya sendiri sudah terbiasa dengan sistem belajar dari rumah. Sebab, saya berasal dari almamater pendidikan jarak jauh. Jadi, sudah paham alur sistem belajar.

Akan tetapi, sistem belajar adik saya dengan model pendidikan pandemi saat ini, jauh berbeda. Terkesan buru-buru dan kejar tayang. Seperti artikel ini. 

Pasalnya, adik saya kudu menyiapkan aplikasi google classroom, zoom, dan wa guna pembelajaran daring. Ruwet dan kacau. Sedangkan, pemerintah tak memberi solusi atas platform yang digunakan oleh setiap siswa-siswi tanah air. Memasrahkan pada institusi satuan pendidikan semata.

Adik saya sampai berkeluh-kesah akan pendidikan semacam ini. "Kapan berakhir? Saya sudah capek. Tak ada guru yang menerangkan pembelajaran. Hanya diperintah mengerjakan tugas tanpa feedback. Bosan, jenuh, dan lesu. Malas sekolah. Kapan selesai?" 

Kurang lebih seperti itu ucapannya. Tapi banyak lebihnya, kan perkataan. Coba uang pasti banyak kurangnya.

Dia menangis mengatakan itu. Saya anjurkan untuk ikut les privat, tapi tidak mau. Sebab, keluarga pembuka les privat adalah keluarga zona merah (korban keganasan korona). Jadi, ia tak mau sama sekali.

Oke. Saya ujuk gigi menawarkan bantuan belajar. Namun, dia tak suka. Cara ngajar saya tidak sama dengan para guru di bangku sekolah. Iya jelas, saya bukan guru. Jadi, ngak tau masalah teaching.

Dia pun selalu bertanya, kapan masuk sekolah? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun