Mohon tunggu...
Basuni ahmad
Basuni ahmad Mohon Tunggu... Guru - penulis buku Aktualisasi pemikiran pluralisme KH. Abdurrahman Wahid

Merenda kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Urgensi Nalar dalam Memahami Kitab Suci

13 Januari 2020   21:56 Diperbarui: 13 Januari 2020   22:04 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

laa dinna liman laa aqlalah (Tidak ada agama bagi yang tak berakal).

Bertebaran ayat al-Qur'an tentang keharusan berpikir (menggunakan nalar), seperti: afala tatapakarun, afalaa tata dabbarun, ya ulil abshar, ya ulil albab, dan lainnya.

Al- Ghazali dalam bukunya al-iqtishad fi al-I'tiqad mengatakan" janganlah hendaknya seseorang terpaku dengan bunyi teks keagamaan dengan mengabaikan akal.

Yang berpegang pada teks Al-Qur'an (atau Sunnah) saja serupa dengan seseorang yang menatap matahari yang mengakibatkan dia harus menutup matanya agar tak gelap mata. Ketika itu, ia tak ubahnya dengan seorang buta.

Karena itu, menatap matahari harus dilakukan 'sedemikian rupa' sehingga dapat menerangi jalan dan mengantar ketujuan yang diharapkan." Yang dimaksud dengan "sedemikian rupa" adalah dengan akal yang menghasilkan ilmu, (Quraish Shihab, 2013).

Nalar kritis diperlukan untuk mengetahui fostulat-fostulat teks wahyu juga sabda nabi. Dengan demikian para pengkaji agama tak mudah terjebak belukar makna kata.

Dari terjebak makna kata menjadi skriftualis dan pada akhirnya terjadi distorsi makna.

Terpaku pada teks melupakan konteks bagai berjalan ditengah hutan belantara tanpa guide. Padahal Allah saja menurunkan wahyu lengkap dengan guidenya (rasul) sehingga sang rasul menjadi juru tafsir utama atas teks ilahi era itu.

Berangkat dari teks suci pemahaman keagamaan dicerna. Memahami agama era kini tentunya yang diambil spirit agama itu sendiri, bukan mengambil simbolisme belaka. Dari itu diperlukan reinterpretasi atas teks-teks yang menyangkut kehidupan sosial.

Tanpa itu kehidupan agama kering kerontang, antimodernisasi dan terbelakang, karena berkaca pada peradaban ribuan tahun lalu. Padahal sejatinya agama berlaku sepanjang zaman.

Nalar kritis mampu membedakan mana ayat particular dan ayat universal. Mampu juga membedakan mana budaya dan mana ajaran esensi agama. Karena, Agama tak bisa berkembang tanpa wadah budaya, dan budaya akan kehilangan arah dan ruh tanpa bimbingan agama. (Komarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, 2012).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun