Apakah perjanjian lisan bisa dianggap sah dalam sebuah proyek besar? Kasus berikut memberikan pelajaran penting tentang keabsahan perjanjian lisan dalam proyek konstruksi.
Kronologi Kasus
PT Darwindo, sebuah perusahaan kontraktor, mengadakan perjanjian lisan dengan seorang mitra bernama Ali Kasim. Kesepakatan ini dilakukan untuk mengerjakan beberapa proyek besar, di antaranya:
- Landasan Pacu Bandara Sei Bati Tahap 2
- Coastal Area Tahap 2
- Pengadaan/Supply Batu Besar di Pulau Karimun Besar
- Pengadaan/Supply Batu Besar di Pulau Berhenti
Dalam perjanjian tersebut, disepakati bahwa proyek akan menggunakan badan usaha PT Darwindo dengan modal bersama, yakni Rp100 juta dari PT Darwindo dan Rp400 juta dari Ali Kasim. Keuntungan juga akan dibagi 50:50 setelah pengeluaran dan pengembalian modal.
Namun, setelah proyek berjalan dan menghasilkan pendapatan Rp2,4 miliar, konflik muncul. Ali Kasim tidak membayar:
- Hak PT Darwindo sebesar Rp503 juta
- Hutang pihak ketiga sebesar Rp474 juta
- Hak mitra lainnya, Sonny Setia, sebesar Rp490 juta
Merasa dirugikan, PT Darwindo mengajukan gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri Batam, menuntut ganti rugi lebih dari Rp1,5 miliar.
Putusan Pengadilan: Perjanjian Lisan Sah dan Mengikat
Pengadilan Negeri Batam menyatakan bahwa perjanjian lisan yang disepakati kedua belah pihak adalah sah dan mengikat. Tergugat, Ali Kasim, terbukti melakukan wanprestasi. Pengadilan memutuskan bahwa Tergugat harus:
- Membayar hak PT Darwindo, hutang pihak ketiga, dan hak Sonny Setia.
- Memberikan ganti rugi keuntungan immateril sebesar Rp30,2 juta.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan berlanjut hingga tingkat kasasi.
Mahkamah Agung: Perjanjian Lisan Tetap Mengikat
Di tingkat kasasi, Ali Kasim berpendapat bahwa perjanjian lisan tidak dapat dijadikan pegangan karena sulit dibuktikan. Namun, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan dalilnya. Dalil wanprestasi oleh Ali Kasim dapat dibuktikan melalui bukti lain, seperti catatan keuangan dan saksi-saksi.