"Tuhan,,, mengapa mencintainya tak semestinya membuatku bahagia?"Â
   Mencintai seseorang adalah soal memberi. Mengapa nasib yang dialami Sinta justru menyiksa batinnya. Semangat hidupnya melemah. Ia semakin larut dalam ketidakberdayaan. Hidupnya terasa berat setelah putus dari pacarnya. Ia terkendala untuk melanjutkan hidupnya.
   Engkau, aku dan dia ada, membawa tugas khusus untuk diselesaikan.Â
   Di sebuah sungai kecil terdapat rumput hijau tumbuh subur. Rumput itu merambat menutupi permukaan sungai. Begitu hebatnya sungai menerima semua itu. Bahkan airnya mau dikontaminasi oleh tumpukan sampah. Oleh lumpur, warna beningnya menjadi kecoklatan. Oleh sampah, lajunya menjadi lambat. Air tetap mengalir. Ia membawa sendimentasi. Ia terus mengairi. Mungkinkah tugas air adalah mengairi? Begitu.
   Cinta Sinta kepada Sugih telah menahan dirinya untuk menyelesaikan tugas khususnya sendiri. Ia lupa daratan atau bahkan sama sekali tidak ada kesadaran. Seolah-olah hidupnya hanya bergantung pada perasaannya terhadap Sugih. Â
"Bahkan di siang hari aku hanya sibuk mencari-cari sukmamu yang telah pergi."Â
   Seruan-seruan Sinta tentang perasaannya membawanya tenggelam dalam ketidakpastian. Membuat Sutejo tergugah jiwanya. "Dan, pada akhirnya engkau lupa, bahwa dirimu juga perlu dicintai olehmu sendiri." saran Sutejo segera berlalu.Â
   Sinta meneteskan air mata. Ia paham apa yang disampaikan Sutejo kepadanya. Mengapa ia belum juga sadar? Ia menganggap bahwa teman-temannya tiada yang mengerti tentang perasaannya. Hatinya gundah tidak menentu. Ia sering pergi seorang diri. Ia lebih suka menyendiri: menghindari ocehan.
   Salah satu hal yang mungkin paling sulit adalah menerima diri sendiri. Itulah yang membuat seseorang sulit menerima semuanya. Menerima semua objek. Termasuk menyangkut masalah hati. Engkau baru bisa menerima semua jika engkau sudah menerima dirimu sendiri. Dirimu yang sekarang dan seterusnya. Masa lalu bukan lagi bagian dari dirimu. Berhentilah mengenang semua itu.
"Terimalah apa yang sudah engkau terima, Ta." Susi menasehati dengan intonasi suara lembut.Â
   Menerima saja tidak cukup. Menerima meski disertai mencintai kenyataan. Sekaligus syukur yang mendalam. Engkau tercipta sebagai dirimu bukan orang lain.Â