Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy. Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Man Jadda Wa Jadda: Siapa Bersungguh-Sungguh Akan Berhasil## **Alloh Akan Membukakan Pintu Terindah Untuk Hambanya yang Sabar, Meskipun Semua Orang Menutupnya**.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Ilmu Sosial dalam Jejaring Kekinian

13 Mei 2020   22:48 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Diskusi kalii ini menguraikan tentang posisi dan peran Ilmu sosial era kekinian dengan menghadirkan pakar-pakar ilmu sosial alumni S3 Ilmu Sosial Unair.

Menurut Sukamtono (2020) saat ini masyarakat sangat berharap kontribusi ilmuwan sosial di era perkembangan industrialisasi 4.0. Bahkan menurut Susilo (2020) dari perspektif Durkheim, kalau kita merayapi masa lalu masyarakat, kita akan mudah mendapati bukti bahwa ada pewarisan sifat altruistik dalam kehidupan kolektif kita. Jelasnya, dengan teori sosial semoga kita bisa mengelola perubahan agar tidak menjauh dari harapan

Sementara itu menurut Sukidin (2020) fenomena kekinian itu yang hendak dijelaskan. Namun juga perlu diketahui bahwa realitas kekinian itu bukan entitas yang a-hitoris. Ada jejaring sosial antara masa lalu dan masa kini. Pemahaman yang komprehenship terhadap realitas sosial setidaknya bisa melibatkan struktur, waktu dan proses. Kesimpulan sederhananya, masa kini dan masa lalu itu sifatnya saling mengandaikan bukan menegasikan.

Menurut Sukidin (2020) posisi ilmu sosial itu netral, tak punya kepentingan apapun terhadap perubahan sosial, alih-alih percepatan. Ilmuwan sosial juga tak punya kehendak apapun terhadap realitas tertentu. Tugas kita cukup memberi penjelasan dan memberi tafsir atas realitas sosial yang sedang terjadi.

Sementara menurut Tadjoer Ridjal (2020) fokus pada kekinian memang baik. Namun, pertimbangan histori jangan diabaikan. Pertimbangan temporalitas dan spatialitas harus tetap menjadi pijakan dalam membangun teori sosial, terlebih dalam merumuskan kebijakan sosial. Mengabaikan sisi temporalitas hanya akan menimbulkan diskontinuitas perkembangan masyarakat. Dan ini biasanya malah menimbulkan problem sosial baru. Nonjudgmental tapi proses tetap menjadi landasan. Bicara proses tentu tidak mandeg.

Sementara itu menurut Wahyono (2020) dunia sosial itu memang kompleks dan dinamis. Ilmu sosial selama ini menjelaskannya dengan menggunakan berbagai upaya, mulai dari paradigma, konsep, teori, perspektif, pendekatan dan metode. Terserah mau mengambil posisi di mana jika mau menjelaskan realitas sosial. Kalau berangkat dari posisi paradigmatik, bisa mengikuti Ritzer dengan empat paradigma yaitu fakta sosial, definisi sosial, perilaku sosial, dan multi paradigma, semuanya dengan konsekuensi pilihan teoretik dan metodenya yang mengikuti pilihan paradigma tersebut.

Jika pilihan paradigmanya positivistik, maka ilmu sosial adalah berusaha netral objektif sebagaimana ilmu alam, sehingga harus netral atau bebas nilai ketika orang ingin menjelaskan realitas sosial. Asumsi paradigma ini bahwa perkembangan masyarakat bersifat linier dan bisa diprediksi serta dikendalikan. Ilmu sosial di Indonesia cukup lama terpengaruh oleh paradigma positivistik terutama era Orde Baru, ketika gandrung dengan pembangunan yang sangat dipengaruhi oleh teori-teori modernisasi. Maka dulu dikenal pelita 1, 2, dan seterusnya. Kemudian juga menggunakan W. Rostow yang mengandaikan perkembangan mayarakat Indonesia berlansung linier mulai menuju tinggal landas, meskipun akhirnya hanya tinggal di landasan. Pokoknya sosiologi arus utama sangat berpengaruh di negeri ini.

Kemudian pada level teoretik ketika akan menjelaskan realitas sosial ada pula yang menggunakan skema objektif-subjektif, struktur-agensi, sehingga para teori ada yang diterminisme objek ada diterminisme subjek, ada yang diterminisme struktur ada yang diterminisme agen, dan ada pula yang bergerak di antara kedua titi itu.

Teoritisi seperti Giddens dan Bourdieu ingin keluar dari diterminisme itu. Tapi ada pula yang berusaha mengkategorikan paradigma dengan cara beda, seperti Guba dan Lincoln dengan membagi menjadi paradigma positivistik, post positivistik, konstruktivistik, dan paradigma kritis. Jika pilihannya paradigma kritis maka ilmu sosial tidak bebas nilai, jadi harus berpihak terutama pada mereka yang terpinggirkan. Obsesi para pendukung paradigma kritis adalah mendorong perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris. Tentu saja di antara para teoritisi pada setiap paradigma itu sendiri satu sama lain juga berbeda-beda.

Kemudian ada pula yang lebih melampau ketika melihat relaitas sosial, teoritisi seperti Baudrillard adalah salah satu di antaranya. Ia mengatakan bahwa dunia sekarang ini adalah dunia  posmodern, yang ditandai oleh simulasi, atau kita hidup di zaman simulasi. Realitas sosial bukan yang nyata itu sendiri, tetapi ralitas sosial yang disimulasikan, dan bahkan katanya represntasi yang nyata itu atau simulasi itu, yang kemudian berkuasa. Sederhananya meleburnya media ke dalam kehidupan dan meleburnya kehidupan ke dalam media. Jadi ya silahkan, mau menjelaskan realitas sosial dari posisi mana, tergantung pilihan paradigmanya.

Menurut Sukidin (2020) yang dipaparkan Wahyono (2020) itu body of knowledge dalam ilmu sosial. Seperti closing Mark. Jadi tidak perlu dibahas. Yang perlu direspon/diperdebatkan ketika ada fenomena apa, akan didekati dengan paradigma yang mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun