Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.
Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy. Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Man Jadda Wa Jadda: Siapa Bersungguh-Sungguh Akan Berhasil## **Alloh Akan Membukakan Pintu Terindah Untuk Hambanya yang Sabar, Meskipun Semua Orang Menutupnya**.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Birokrasi v.s. Inovasi

23 April 2020   09:20 Diperbarui: 23 April 2020   09:58 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Editor: Basrowi*

Potret kasus kelaparan yang mengakibatkan rakyat meninggal dunia di era wabah Corona, telah membuka ingatan Prof Dr. Ramlan Surbakti, MA, guru besar Ilmu Politik pada Program Doktor Ilmu Sosial Unair, yang memunculkan catatan lamanya yang berisi pertanyaan, "Apakah bisa dipadukan antara birokrasi dan inovasi? bukankah keduanya berlawanan?"

Inovasi para Birokrat

Kalau kita memperhatikan pendapat Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si Dosen Sosiologi FIP UNY, (2020) inovasi para birokrat yang telah mengubah sistem ekonomi agraris feodal menjadi Kapitalis dengan menggunakan moda produksi masyarakat industri perlu dicermati dengan serius. Marx sudah mengkritik habis terhadap inovasi kapitalime awal dengan menggunakan inovasi pendekatan struktural yang kita kenal sebagai Marx ortodok karena diterminisme ekonomi. Kemudian dipraktikan oleh Marx politik yaitu Lenin dan Stalin di Rusia yang menghancurkan struktur sosial politik dengan komunisme. Sampai sekarang juga ada banyak negara yang mencoba meniru inovasi gaya Marx politik itu, seperti Kuba dan Korea Selatan. Tapi hingga sekarang masih menjadi perdebatan tentang keberhasilan inovasinya. Dengan kata lain, inovasi yang dimotori birokrat besar pun masih belum diyakini keberhasilannya

Dipandang dari paradigma kritis, tampak sekali di dalam inovasti tersebut adanya kekuatan struktur dominasi kapitalis itu sendiri. Analisis canggih neo Marxis seperti Gramsci dengan hegemoninya atau Henri Lefebvre dengan the production of space nya ternyata kurang efektif, karena kapitalisme selalu melakukan inovasi dengan memperbarui diri. Kritik ideologinya Marx pada kapitalisme awal, dan kemudian dikritisi sekolah pemikiran Frankfurt yang mengkritik kapitalisme lanjut, ternyata tidak cukup efektif untuk menetralisir inovasi kapitalisme.

Sekarang ini, menurut Bayu (2020), para birokrat kapitalis juga terus melakukan inovasi memperbarui diri dengan apa yang disebut oleh beberapa toeretisi kritis sebagai tehnocapitalisme. Masyarakat digital juga diinovasikan sebagai cyber proletariat. Semua itu dalam kerangka inovasi kapitalis dalam mencengkeram rakyat.

Tidak penting kucing itu merah atau hitam yang penting bisa menangkap tikus

Lebih lanjut Bayu (2020) menjelaskan, kalau birokrat China berhasil karena sudah dimulai sejak lama ketika birokrat Deng Xiaoping mengubah sistem ekonomi menjadi ganda--kapitalis dipadukan dengan komunis--yang terkenal dengan semboyan tidak penting kucing itu merah atau hitam yang penting bisa menangkap tikus; kemudian diteruskan oleh brokrat Hu Jintao, Xi Jinping, dan Zhu Rongji yang tegas memberantas korupsi. Tapi jangan lupa itu semua tinggal meneruskan ketika birokrat Mao melakukan revolusi kebudayaan. Semua itu bukan sim salabim, itu semua adalah perkara kultur dan etos kerja. China sudah membangunnya lama sejak birokrat Mao berkuasa, atau Singapura sudah membangunnya sejak birokrat Lee Kuan Yew masih muda. Jadi ini soal karakter bangsa. Seinovasi apa pun brokratnya kalau tidak dimbangi oleh karakter masyarakat yang sesuai, maka inovasi itu hanya sebagai candaan belaka.  

Birokrasi Entrepreneur dan Friendly Leadership

Menurut Dr. Sukidin, Sosiolog dari FKIP UNEJ, (2020) birokrat itu masih bisa melakukan inovasi. Misalnya saja dalam konsep "Mewirausahakan Birokrasi" merupakan salah satu wujud birokrasi modern yang rasional, inovatif dan mempertimbangkan cost and benefit. Tantangan birokrasi adalah kemampuan mengelola sumberdaya secara rasional. Banyak birokrat Indonesia agar dianggap modern akhirnya ikut-ikutan dengan memunculkan paket kebijakan swastanisasi usaha milik negara. Sayangnya, usahanya menjadi blunder karena yang terjadi bukan menguntungkan negara tetapi justru memiskinkan negera.

Untuk itu Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. mantan birokrat (Sekjen Kemenag, saat ini sebagai Guru Besar Sosiologi di UIN Sunan Ampel Surabaya) menulis buku dengan judul Friendly Leadership, diterbitkan oleh LKIS 2018. Menurutnya, kememimpinan itu sebagai Roh Manajemen. Buku itu juga bercerita tentang pengalaman  dan gaya memanejemen di Kemenag yang kekiasaannya dari pusat sampai daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun