Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fahri Hamzah dan Gerakan Kemanusian di Lombok

14 Agustus 2018   19:44 Diperbarui: 14 Agustus 2018   19:59 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Siapa yang bisa menghindari bencana. Jika sudah menjadi takdir-Nya,  kita bisa apa? Pada akhirnya manusia hanya akan menjadi debu yang  beterbangan. Juga pada akhirnya hanya akan menjadi paling kecil diantara  yang kecil. Yang nantinya akan melahirkan kesadaran atas kuasa Tuhan  pada semesta.

 Menengadah ke langit, kemudian bersyukur untuk yang  masih hidup dan mengikhlaskan yang berpulang lebih cepat. Semua sudah  menjadi jalan yang telah ditakdirkan. Biarkan saja itu terjadi. Toh  semua yang hidup kelak akan mengalami kematian. Batu saja ada yang mati  kan.

 Gempa Lombok memang sangat memilukan. Tentu saja ini akan  menjadi kerinduan yang sangat mengharukan kemudian. Betapa tidak, gempa  yang pertama datang pada 29 Juli lalu itu memakan korban yang tidak  sedikit. Yang pertama tentu saja adalah seorang pendaki asal Makassar,  Muhammad Ainul Taksin.

 Evakuasi yang dilakukan tim SAR sangat  menegangkan terhadap jenazah Taksin yang dilakukan dengan menggunakan  Helikopter di Gunung Rinjani. Begitu juga dengan para pendaki lainnya.  Semua berduka atas kematian Taksin. Yang rupanya duka itu akan berlanjut  pada tanggal 5 Agustus lalu.

 Dimana gempa kembali mengguncang  Lombok dengan 7,0 Skala Richter. Ribuan rumah hancur rata dengan tanah.  Puluhan atau bahkan ratusan mesjid dan fasilitas umum lainnya pun  bernasib sama. Dan yang paling mengerikan adalah 321 orang menyusul  almarhum Taksin. Innalillahi wainnalillahi rojiun.

 Badan  Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat telah terjadi 451  kali gempa bumi susulan hingga tanggal 10 Agustus, hari ini. 20 kali  gempa di antaranya dirasakan sangat kuat oleh masyarakat. Bahkan, gempa  berkekuatan 6,2 Skala Richter kembali mengguncang pada 9 Agustus kemarin  yang kembali membuat ribuan pengungsi panik.

 Lalu pemerintah  bagaimana? Tentu semua saudaraku para pembaca tahu. Saya tidak perlu  lagi uraikan sedemikian rupa mengenai keadaannya. Yang pasti saya hanya  secara pribadi ingin mengatakan pemerintah memang memberi perhatian  dengan memberikan bantuan melalui Kementerian Sosial dan kementerian  terkait lainnya.

 Akan tetapi, menurut pandangan saya pemerintah  belum sampai pada tataran peduli dan berempati. Kenapa? Tentu saja  karena pemerintah tidak menjadikan Gempa Lombok sebagai Bencana  Nasional. Yang tentu saja ketika itu dilakukan maka penanganan akan  lebih masif dan berkelanjutan secara terstruktur dan terarah secara  benar.

 Malcolm Gladwell dalam bukunya "Blink (Kemampuan Berpikir  Tanpa Berpikir" mengatakan "Tidak mungkin kita bisa peduli kepada  seseorang tanpa mengenal keadaan mereka, tempat tinggal mereka, tetangga  mereka, kehidupan mereka". Mungkin pemerintah saat ini sudah seperti  harapan Malcolm ini. Namun hal itu tidak fokus dilakukan.

 Sebab  bagaimana tidak, gempa Lombok seakan tenggelam oleh hiruk pikuk  perpolitikan sekarang-sekarang ini. Mulai dari jenderal baper, jenderal  kardus, ulama Pilpres, dan jargon-jargon politik lainnya. Semestinya,  politik tidak boleh mengalahkan kemanusiaan. Jika politik mengalahkan  kemanusiaan maka itu menghancurkan cinta kasih.

 Kupikir, untuk  saat ini hanya ada satu sosok politisi yang tahu betul akan hal ini  yakni, Fahri Hamzah. Terlepas dari seorang Fahri yang notabene adalah  wakil rakyat dari Nusa Tenggara Barat (NTB), akan tetapi Fahri tidak  memposisikan diri sebagai sorang yang antipati terhadap kemanusiaan.  Rela meninggalkan riuhnya politik Pilpres yang mungkin bisa jadi  panggungnya untuk tampil menampakkan diri. Tapi kemudian rela berbagi  cerita dengan ribuan pengungsi, rela berbagi suka dan duka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun