Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Radikalisme, Justifikasi, atau Legitimasi?

4 November 2019   10:58 Diperbarui: 4 November 2019   11:16 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Praktis, tetapi tanpa ilmu, apalagi sebentuk adab. 

Baik Menteri Agama, atau mereka lain yang sibuk "mengumandangkan" perang terhadap radikalisme seperti tidak terkesan serius. Entah ego atau semangat bela negara yang terlalu besar atau faktor lain yang bahkan bisa pura pura tidak melihat atau memang sengaja kunci kunci yang jelas terpapar apabila insiden Wiranto yang dijadikan patokan. 

Radikalisme bukan sekedar tanggung jawab Kementerian atau Negara saja sebetulnya. 

Apabila dikaitkan dengan sebuah keyakinan, dalam hal ini Islam, ya harus ditekankan sekali lagi bahwa tidak ada namanya Islam Radikal. 

Yang radikal itu bukan Islam dan kalau pun ada seperti kata Panji, itu adalah Radikalis yang kebetulan Islam. Menjadi tanggung jawab bersama karena, hei, saat ada diantara "mereka" yang menjadi radikal di sela sela sebuah ajaran yang bahkan Islam sendiri berarti Salamah dan konsep Rahmatan Lil Alamin, ada yang tidak tepat dalam penerapan atau ilmu yang diajarkan oleh beberapa yang menjadi kan mereka radikal. Bahkan lebih salah lagi apabila faktor ekonomi lah yang menjadikan seseorang memilih untuk menjadi radikalis, yang kebetulan Islam. 

Ini miris. Karena bagaimana seorang muslim bisa berubah radikal karena faktor ekonomi di sebuah negara yang konon mayoritas adalah muslim dan tidak ada yang membantunya sama sekali dalam hal ekonomi? 

Ini tamparan sebetulnya. 

Muslim adalah seseorang yang bahkan kehadirannya saja memberikan kedamaian.  Itu pelajaran yang baku kok. Tapi Muslim di Indonesia saat ini kebanyakan justru sibuk dengan labeling sesama, atau bahkan diri sendiri. 

Jujur, saya adalah bagian dari perilaku labeling ini. Yang karena kedangkalan ilmu gemar melabel hei kamu ahlu bidah. Kamu ini lah. Dan saya "paling" Nusantara. Bahkan menaruh rasa saling curiga. 

Menjadi malu, saat kemudian melihat, belajar dan wajib menurunkan ego dan mengosongkan gelas saat melihat bahwa banyak kebaikan kebaikan yang muncul dari mereka yang kebetulan tidak sepah dengan saya, atau kami. 

Karena baik atau buruk pada akhirnya, tidak perlu label. Ia akan bergerak dan berarti sebagaimana adanya. Bahwa bahkan ilmu yang didapat masih seujung kuku saka belum ada, dan apabila didasari dengan keinginan untuk sama sama mau belajar dan memperbaiki diri, dan saling menghormati, seorang muslim yang bodoh tidak akan punya waktu untuk menjadi radikal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun