Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya, Pertahanan Terakhir Upaya Deradikalisasi

14 Mei 2018   01:14 Diperbarui: 15 Mei 2018   22:20 2471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kompas.com/Sigiranus Marutho

Diknas dan Kemenag, perhatikan hal seperti ini. Lakukan studi banding tentang pendidikan di usia bermain terbaik, bukan terberat. dan lakukan pengawasan secara lebih mendalam. Embrio radikalisme sedang dilakukan dibawah hidung anda, dan kalian diam saja saat mengetahui.

Deradikalisasi Dalam Keluarga

Acara pentas seni yang diadakan di pesta kelulusan putri menjadi terasa begitu tak bermakna dan (seriusan) membosankan. Mix Feelings, karena sudah 2 kali ini saya menghadiri acara kelulusan dan pentas yang diadakan sama sekali tak mengangkat budaya Indonesia namun cenderung kebarat-baratan. Tapi sekaligus tamparan, melihat mereka dan keberagamannya, dan juga putri sendiri yang mengenakan atribut bebas t-shirt dan jins dan sebuah trucker  Deus Ex Machina. 

Bagaimana saya bisa protes tentang sebuah acara pentas seni yang kebarat-baratan sementara saya pun 'sedikit'nya gagal dalam mengenalkan budaya yang asli Indonesia ke lingkungan terdekat sendiri?

Mata kemudian tertuju ke sosok satu anak ini. Di acara bebas, di mana terlihat anak-anak dengan label t-shirt kekinian, klub bola luar negeri  dan yang lain, Ia memilih atau dipilihkan sebuah busono yang mencerminkan jati dirinya 

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Budaya dan Jati Diri Asli

Mas Onto, namanya. Salut terhadap orangtuanya, putrowayah Mataraman yang tidak melupakan budaya, tidak melupakan asal usulnya. Seriusan, ini bukan acara Kartinian atau Hari Kemerdekaan, di mana kadang akhirnya kita salah kaprah karena pengenalan jati diri dan keberagaman hanya dilakukan setahun beberapa kali aja.

Sementara embrio pengajaran radikalisme? 

Secercah harapan kemudian timbul. Ide terbesit. Kita selama ini ribut melulu tentang nilai-nilai mayoritas dan minoritas. Ribut mengenai aliran ini dan itu. Keyakinan. Rasialisme. Kalimat cukup agama sebagai penolongku terasa tak cukup lagi. Penolong siapa? Bahkan pada kenyataannya tak bisa menolong diri sendiri atau bermanfaat bagi orang lain.  

Saat pelajaran budi pekerti dihilangkan, PMP atau Pendidikan Moral (berbasis) Pancasila tak lagi ada, ya pengenalan budaya pada usia dini secara teori bisa menjadi benteng terakhir upaya pencegahan radikalisme. Itu apabila kita mau bersama sama melakukannya. Pray tok, kami tidak takut tok dan yang lain sudah tidak cukup lagi. 

Kita bisa sama-sama selalu beradu argumen sebagai warganet di media sosial, atau mau menggunakan media sosial sebagai satu media untuk mengenalkan budaya, jati diri asli dan nilai luhur bangsa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun