Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maharddhika, Akhirnya Kepercayaan Asli Nusantara Dianggap Setara

7 November 2017   19:54 Diperbarui: 8 November 2017   09:28 3268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah ibu-ibu warga Adat Sunda Wiwitan Cigugur terlibat aksi saling dorong dengan Polisi Wanita Polres Kuningan, Jawa Barat di Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kamis siang (24/8/2017). Pasca dua kali terjadi kericuhan, dan sejumlah korban terluka, Pengadilan Negeri Kuningan menggagalkan pelaksanaan eksekusi bangunan yang menjadi sengketa bertahun-tahun.(KOMPAS.com/ Muhamad Syahri Romdhon)

Maharddhika-- Kata Sansekerta yang aslinya merupakan sebuah ucapan salam bermakna sejahtera, hebat memang mengalami sedikit perubahan arti. Maharddika kemudian lebih dikenal dengan Mahardika. Yang bermakna lugas bebas, dan bahkan KBBI pun memberikan arti yang sedikit lain: berilmu, berbudi luhur dan bersifat bangsawan. 

Dengan pengaruh Portugis dan Belanda, Mahardika malah semakin berubah menjadi Mardjikers yang didalam bahasa Portugis, Mardika berarti Bebas. Dan serapan Maharddhika dan Mardika menjadi Merdeka. Kebebasan.

Dan hari ini, "Salam Maharddhika" yang sedari awal merupakan kalimat baik pun berkumandang kembali. Di antara mereka, para penganut kepercayaan asli Nusantara yang justru selama ini tidak mendapatkan pengakuan setara oleh pemerintah. Namun hari ini, Mahkamah Konstitusi secara gamblang dan diikat dalam satu peraturan untuk mengakui keberadaan dan kesetaraan para penganut kepercayaan asli Nusantara. Baca lebih lengkap beritanya di sini

Berada, dan Setara
Bahwa penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selama ini, status hukum dan hak terkait administrasi kependudukan mereka memang seringkali tidak diindahkan. Bahkan tak jarang terjadi, demi memperoleh hak untuk diakui sebagai Warga Negara Indonesia, mereka sering harus (dan bahkan diwajibkan) untuk mengatakan bahwa mereka menganut salah satu dari enam agama yang sudah diakui terlebih dahulu. Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan bahkan yang terakhir diakui adalah Kong Hu Cu.

Belum lagi peristiwa demi peristiwa di mana terjadi perlakuan diskriminasi dan bahkan perlawanan bagi mereka sekedar demi mempertahankan apa yang sejatinya merupakan hak mereka. Cap sesat dari masyarakat awam yang tidak mengerti dan enggan belajar lebih lanjut.

Perlakuan diskriminasi seringnuya meminta mereka untuk mengosongkan apa yang mereka percayai di dalam kolom agama didalam pencatatan pada Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat, setidaknya ada sekitar 245 Aliran kepercayaan asli Nusantara yang mempunyai pemeluk 400 ribu orang. Itu baru yang tercatat, karena besar kemungkinan pencatatan model "gunung es" tadi tidak benar benar secara detil dan rinci menjabarkan mereka yang telah terpaksa mencantumkan agama lain demi sebuah pengakuan secara administrasi akan keberadaan mereka . 

Kini, mereka berhak untuk apa yang sudah dinantikannya sejak (terlalu lama). Istilah baku yang saat ini disematkan untuk mereka secara administratif adalah "Penghayat Kepercayaan"

Selamatan . sumber : Collectie Tropen Museum
Selamatan . sumber : Collectie Tropen Museum
Kapitayan, asal mula "Penghayat Kepercayaan"?
Kapitayan, yang diyakini sebagai cikal bakal asli kepercayaan Nusantara pun (awalnya) tidak mengenal konsep dewa, tidak seperti Agama Hindu, Buddha ataupun Kong Hu Cu. Maka tidaklah tepat apabila kemudian Hindu atau Buddha pun mengklaim sebagai agama asli Nusantara. Inilah salah kaprah yang seringkali terjadi, meski pada akhirnya pengaruh pun ada.

Kata sembahyang yang kita tau sekarang ini pun berasal dari kata menyembah Hyang. 

Dalam hal in Sanghyang Taya , yang berarti hampa. Tan kena kinaya Ngapa. Sang Maha Yang "Kosong", Namun Juga "Isi". Keyakinan Monoteisme yang sayangnya karena ketidakpahaman masa lalu malah seringnya diidentikkan dengan animisme dan dinamisme. 

Lebih jauh lagi, bahkan masyarakat penganut Kejawen yang juga berkembang dari Kapitayan pun membahasakan dalam salah satu falsafah nya : 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun