Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Hampir menjadi mahasiswa abadi di jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, lalu menjadi abdi negara. Saat ini sedang menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Kunjungi saya di www.basareng.com. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengaji atau Menyesal di Alam Sesudah Mati

29 Maret 2017   08:37 Diperbarui: 29 Maret 2017   08:50 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi foto : bersama dakwah.net

Menyelam jauh ke alam ingatan penuh kenangan. Disaat pertama berkenalan dengan huruf asing penuh arti. Bukan huruf sembarangan, huruf ini bernama hijaiyah. Dasar untuk bisa membaca dan memahami Al-Quran dan Hadits yang merupakan pedoman hidup di dunia fana ini. Belajar sejak usia dini menjadi pilihan beberapa anak di daerah, mengisi waktu pulang sekolah agar lebih bermakna.
***
Puluhan anak terlihat berjalan menuju sebuah masjid. Sebuah sarung terlihat menyilang di badan. Kopiah hitam Nampak terpasang di kepala, walau sebagian dari mereka memasangnya secara miring. Langkah kaki tegap ditemani lantunan doa menambah indah pemandangan desa. Aku termasuk dalam rombongan itu, kaki mungil memijak tanah menuju masjid kecil. Semangat kami begitu menggebu dengan sesekali meneriakkan takbir.

Beberapa remaja terlihat telah berada di dalam masjid. Mereka yang akan bertindak sebagai guru mengaji malam itu. Shalat maghrib tiga rakaat begitu ramai. Suara anak-anak sesekali terdengar bersenda gurau, tertawa dalam shaf shalat. Jika masih ada suara anak-anak di masjid, maka yakinlah Islam akan tetap berjaya dan abadi hingga akhir zaman.

Setelah shalat maghrib, kami melanjutkan aktifitas belajar mengaji. Suara teriakan “duduk anak shaleh” terdengar, seketika semua anak-anak (santri) mengambil posisi duduk seperti malam-malam sebelumnya. Nama kami dipanggil satu-persatu untuk duduk di hadapan sang guru. Tiba giliran namaku disebut, aku memanjangkan kaki sejenak yang terasa kesemutan. Kedua tangan membantu badan berdiri lalu melangkah perlahan ke depan. Sebuah meja kecil telah siap menunggu, rela menjadi alas buku “iqra”. Aku duduk perlahan dengan melipat kedua kaki. Kumulai membuka buku iqra, tanganku meraih sebatang lidi yang akan membantu mengeja huruf. Bibirku pun mengucap huruf demi huruf yang tercetak. Dengan hati yang selalu bergetar saat mengeja dan membaca huruf yang merangkai firman-Nya.

Sementara santri yang lain sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang hanya duduk diam mengamati sekeliling. Ada pula yang sangat sibuk bermain dengan santri lain. Permainan mereka mengikuti tayangan televisi yang lagi booming saat itu. Film hanoman dan satria baja hitam merupakan tontonan favorit anak-anak saat itu. Santri yang bermain tadi, ada yang menjadi hanoman dengan menggulung sarung dan mengikat di pinggang sehingga nampak seperti ekor. Selain itu, beberapa anak mengikuti gaya khas kamen rider black atau satria baja hitam.

Namanya juga anak-anak, belajar sambil bermain merupakan hal yang wajar. Namun saat sudah mengganggu yang lain, guru mengaji dengan sigap melerai mereka.

Dengan nafas yang sedikit tersengal, kuselesaikan dua halaman tuk dibaca. Aku bersyukur buku nilaiku kembali tergores tanda “(+)” (baca : tambah) yang berarti bisa berlanjut ke halaman selanjutnya.

Setelah semua santri mendapat giliran mengaji, doa penutup menjadi akhir dari kelas mengaji malam itu. Suara lantang para santri terdengar melantunkan doa penutup dengan penuh semangat. Sesaat setelahnya, suara adzan Isya menyeruak ke langit. Para santri ikut khusuk dalam lantunan ayat Al Quran yang dibaca oleh Imam shalat.
***
Usiaku masih 6 tahun saat itu, termuda diantara santri di masjid. Saat wisuda santri, aku berfoto paling depan. Wajar saja karena tubuhku paling mungil diantara yang lain. Aku masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar saat toga wisuda terpasang di kepala. Setelah tamat, seorang guru mengaji mengajarku secara privat di rumah. Fokus pembelajarannya adalah ilmu tajwid. Membaca Al Quran memerlukan dasar ilmu tajwid yang benar agar tidak salah makna.

Banyak guru mengaji berarti banyak dapat ilmu. Sebelum mengaji di masjid dekat rumah, dua guru mengaji telah terlebih dahulu menjadi tempat tuk belajar. Guru pertama seorang kakek tua yang terkenal punya banyak santri di kampungku. Metode belajarnya pun masih tradisional, bahasa daerah Makassar sangat kental mewarnai penyebutan huruf.

Guru mengaji yang kedua adalah Nenekku sendiri. Beliau adalah Tante dari ayah. Suara merdunya telah sering mengudara saat ada pengajian. Beliau punya banyak santri dan beberapa di antaranya menjadi utusan daerah di perlombaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) baik tingkat kabupaten maupun propinsi. Ada yang unik sebelum mengaji, para santri harus mengisi sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat secara beramai-ramai. Setelah terisi, barulah kami belajar mengaji. Tapi karena rumahnya lumayan jauh, aku pun melanjutkan belajar mengaji di masjid dekat rumah walaupun sesekali masih sering ke rumah Nenek untuk memperbaiki Tajwid.

Semoga mereka yang telah menyempatkan waktunya untuk mengajar anak-anak membaca Al-Quran mendapat amal jariyah, bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Dunia hanya persinggahan dari sebuah perjalanan dan sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak. Ayo mengaji…Barakallah(*)

#SelfReminder
#AyoMengaji
#Barakallah

Gowa, 28 Maret 2017
Muhammad Aliem

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun