Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Hampir menjadi mahasiswa abadi di jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, lalu menjadi abdi negara. Saat ini sedang menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Kunjungi saya di www.basareng.com. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paradigma Pembebasan: Pengentasan Kemiskinan dengan Partisipasi dan Pemberdayaan

3 Oktober 2020   19:04 Diperbarui: 3 Oktober 2020   19:14 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembangunan yang mementingkan tingginya angka pertumbuhan ekonomi akan terjebak pada semakin tingginya kesenjangan dan kemiskinan. Aktor utama pembangunan kala itu yakni pemerintah tanpa melihat sejauh mana masyarakat dapat mengakses hasil pembangunan. Kendali penuh dipegang oleh pemerintah melalui agen-agen pembangunan. Masyarakat menjadi obyek dan sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan di daerahnya.

Pada akhirnya, masyarakat di daerah tertentu menjadi semakin miskin. Mereka tidak terjamah hasil pembangunan. Parahnya lagi, Sebagian besar dari kelompok masyarakat terampas asetnya dengan dalil pembebasan lahan untuk pembangunan. Tanah mereka dirampas pelaku pembangunan yang tak lain adalah pemerintah sebagai aktor utama pembangunan.

Berangkat dari hal tersebut, sebuah paradigma lahir dengan istilah paradigma pembebasan. Dengan sasaran utamanya adalah kaum tertindas yang identik dengan kemiskinan. Paradigma ini mengutamakan pembebasan kaum miskin dari kemiskinan akibat mengalami ketertindasan yang terstruktur. 

Salah satu tokoh pendidik asal Brazil, Paolo Freire (1975) muncul dengan gagasan pembebasan melalui penyadaran. Salah satunya yakni sikap kritisnya terhadap proses pendidikan yang dianggap sebagai  proses penindasan. Untuk itu, Freire menyatakan bahwa Langkah-langkah pembebasan bisa berawal dari pendidikan dengan syarat negara tidak melakukan penindasan terstruktur melalui kurikulum yang pragmatis. Meskipun gagasannya ini membuatnya hidup dalam pengasingan pada masa sebelum kudeta militer 1 April 1964 di Brazil.

Freire memiliki gagasan dengan istilah pendidikan kaum tertindas,. Ia berpendapat bahwa sistem pendidikan harus menjadi alat pembebasan bukan sebagai alat penguasaan, khususnya dari pemerintah yang mengontrol sistem pendidikan saat itu. Atau dengan kata lain pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan seseorang, bukan sebagai alat penjinakan. 

Sehingga Pendidikan dengan tujuan pembebasan tidak hanya sekadar menjadi media penyebaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tidak boleh menjadi sarana tindakan menanamkan tentang laporan teknis atau fakta ke dalam diri peserta didik yang menindas. Pendidikan harus memanusiakan manusia tidak boleh menimbulkan penindasan kepada peserta didik.

Gagasan Freire tersebut telah menginspirasi banyak orang hingga menembus batas negara, tak terkecuali di Indonesia. Kaum tertindas yang identik dengan kemiskinan itu harus dibebaskan melalui proses penyadaran. Sehingga mereka sadar dengan kemampuannya dapat memengaruhi lingkungan sekitarnya dan terbebebas dari ketertindasan yang menyebabkan kemiskinan.

Dalam proses pembebasan kaum tertindas diperlukan proses penyadaran (conscientization), yakni membuat mereka yang tertindas itu tersadar tentang kondisi di sekitarnya. Selanjutnya dengan kesadaran kritis itu mereka mampu memahami penyebab kemiskinan dan ketertindasan yang dialaminya dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk terlepas dari penindasan. 

Pengambilan keputusan dan analisis masalah tidak dilakukan oleh pihak luar seperti agen pembangunan pemerintah. Dari kesadaran individu diharapkan pada pembentukan komunitas lokal yang memiliki kesamaan visi karena kesamaan kondisi. Sehingga mereka mampu memilih dan merencanakan program apa saja yang harus dilakukan tanpa tekanan pemerintah.

Paradigma ini dijalankan melalui dua pendekatan pembangunan yakni pendekatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Selama puluhan tahun pembangunan, Indonesia telah menerapkan paradigma pembebasan ini sejak 1980-an. Aksi-aksi komunitas arus bawah hadir melakukan perlawanan atas perampasan hak milik mereka seperti tanah tempat tinggal dan lahan pertanian dengan dalih pembangunan nasional. Namun, gerakan mereka tidak terorganisir dengan baik. 

Pada intinya, gerakan-gerakan perlawanan yang lahir dari masyarakat yang menentang penindasan itu adalah sebuah sinyal kuat bahwa kesadaran kritis masyarakat telah muncul. Dari beberapa kasus yang ditangani Komnas HAM dan dilaporkan ke DPR menjadi bukti bahwa telah adanya rasa kesadaran kritis di masyarakat walaupun tanah mereka tidak Kembali lagi secara otomatis (Salman, 1997).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun