BAB I
PENDAHULUANÂ
1.1. Latar belakang
Kain batik Indonesia yang mendunia telah menjadi ciri khas dari negara seribu pulau tersebut. Kain batik yang dulunya hanya dipakai oleh kalangan keraton atau bangsawan, sekarang dapat dipakai oleh semua kalangan masyarakat. Dewasa ini, batik Indonesia banyak dimunculkan dalam variasi produk seperti baju anak-anak, baju kantor atau baju kaos.Â
Hal ini mendorong batik sebagai salah satu referensi tren berbusana dan kerap kali dijadikan sebagai model busana yang ditampilkan dalam ajang pameran budaya atau acara fashion show. Namun, persaingan produk-produk budaya di pasaran domestik dan internasional yang semakin kompetitif menghadapkan budaya batik indonesia dengan produk-produk budaya luar khususnya budaya western dan budaya Korea. Globalisasi yang mengeliminasi batas-batas antar negara menyebabkan budaya asing untuk masuk dan meresap ke dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Budaya western dengan dan budaya Korea yang dimunculkan lewat tren busana sering diidentikan dengan budaya modern yang menarik minat mayoritas generasi muda Indonesia.Â
Kain batik yang dipandang sebagai budaya tradisional membuat kaum pemuda dan pemudi cenderung menjauhi pemakaian batik. Kurangnya minat menyebabkan pengetahuan dan kesadaran diri generasi muda untuk melestarikan batik Indonesia berdampak pada pelestarian batik yang menurun yang akan membawa kepunahan terhadap batik. Kepunahan batik Indonesia akan memudarkan identitas nasional bangsa sehingga diperlukan langkah-langkah serius untuk menjamin keberlangsungan batik Indonesia. Artikel ini akan membahas urgensi generasi muda dalam melestarikan batik di tengah arus globalisasi.Â
1.2. Landasan TeoriÂ
Identitas nasional
Menurut KBBI, kata identitas didefinisikan sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang dan kata nasional diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kebangsaan atau meliputi suatu bangsa. Dalam ilmu semiotika, identitas diinterpretasikan melalui tanda yang visibel seperti benda material, gambar, karakter fisik, dan penanda yang merujuk pada makna dibalik tanda-tanda tersebut. Jadi, identitas nasional dimaknai sebagai karakteristik bangsa yang disatukan demi menghasilkan eksistensi bersama. Identitas nasional dibagi terdiri dari identitas primer dan identitas sekunder. Identitas primer merujuk pada karakteristik fisik bangsa seperti etnis, ras, suku sedangkan identitas sekunder berhubungan dengan karakteristik yang disetujui bersama oleh warga negara seperti norma dan aturan.Â
Theory Planned Behaviour
Sebuah penelitian mengenai intensi berbusana batik pada kalangan muda dilakukan oleh Fony Sanjaya dan Listyo Yuwanto melalui metode kuesioner berdasarkan Theory Planned Behaviour. Teori ini membuka banyak kemungkinan bagi peneliti untuk menelaah perilaku berbatik generasi muda dengan memberi kebebasan bagi para partisipan dalam menjawab pertanyaan sesuai dengan pandangan dan pengalaman masing-masing. Teori ini menjelaskan sebuah behaviour (perilaku) dipengaruhi oleh intention (keinginan) yang dibentuk oleh 3 komponen yaitu, attitude (sikap), subjective norm (norma subyektif), perceived behavioural control (kontrol perilaku) (Sansom, 2022).Â
Penelitian ini memiliki sampel sebanyak 30 responden yang terdiri dari 23 perempuan dan 7 laki-laki. Para responden adalah orang-orang muda Jawa Timur kelahiran tahun 1980 sampai 2000 dengan kebiasaan memakai batik saat tidak aktif bekerja di kantor atau instansi manapun (Sanjaya dan Yuwanto, 2019:89-90). Berdasarkan jawaban kuesioner, dua peneliti tersebut menyimpulkan bahwa perilaku berbusana batik generasi muda dipengaruhi oleh faktor estetika, prestise, fashionable, identitas bangsa, dan fleksibilitas (Sanjaya dan Yuwanto, hlm 91). Adapun data yang diperoleh dari kuesioner.Â
                                            Tabel 1. Alasan Responden Suka Berbusana Batik
                               Â
Tabel di atas menunjukkan jika latar belakang utama responden dalam menggunakan batik adalah nilai estetika yang dikandung dalam kain batik. Peneliti mengacu estetika berdasarkan definisi KBBI yang diartikan sebagai nilai seni, keindahan, corak, dan motif. Proses globalisasi mengganti elemen seni batik yang dulunya filosofis, religius, dan simbolik menjadi nilai material semata. Batik hanya digunakan untuk untuk kebutuhan ekonomis saja (Djulius, 2017 dalam Sanjaya dan Suswanto, 2019: 91-94).