Mohon tunggu...
Nina Bobo
Nina Bobo Mohon Tunggu... -

meramaikan saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik Kasus Arcandra, antara Kekuasaan dan Kebangsaan

17 Agustus 2016   00:19 Diperbarui: 17 Agustus 2016   01:00 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.kompas.com (Luhut B.Panjaitan)

Selamat Hari Kemerdekaan dan Selamat Memaknai Jasa-Jasa Para Pahlawan yang telah gugur serta berkorban jiwa maupun raga bagi kita demi menikmati kebebasan hidup dan kesetaraan diantara Bangsa-bangsa lainnya di muka bumi ini.

Jika bicara kebangsaan maka identik kita bicara tentang ketata-negaraan dan apabila kita membahasa masalah kenegaraan maka sangat lekat dengan perihal kekuasaan. Kasus Arcandra adalah sebuah kasus yang semestinya tidak layak terjadi dimasa teknologi informasi semaju saat ini, apalagi yang melakukan blunder ini adalah instrumen tertinggi sebuah negara.

Pertanyaan yang menarik dari kasus Arcandra adalah ada apa dibalik ini? mungkinkah kasus ini adalah merupakan bagian dari agenda terselubung yang sudah dirancang sedemikian cantiknya di resuffhle kabinet kemarin. Tentunya apapun yang kita yakini dan coba pahami sebagai sebuah analisa terhadap sebuah dinamika perpolitikan hanyalah tinggal menjadi bagian olah pikir yang hanya dapat menjadi benar apabila pelaku-pelaku mengakui strategi politik yang sedang dilangsungkannya.

Tentu teman-teman akan bertanya, kenapa Nina kembali membuka perihal yang berhubungan dengan resuffhle kabinet yang lalu? padahal sama-sama kita ketahui, betapa minimnya hembusan media pada resuffhle kali ini, dingin, tenang dan seakan-akan semua sempurna, padahal ada beberapa hal penting yang semestinya menjadi sorotan dari banyak pihak.

Hal yang paling utama adalah mari kita sama-sama membuka mata bahwa Presiden Jokowi pada resuffhle kali ini dengan terang benerang 'langsung atau tidak langsung' harus mengakui bahwa menjalankan janji kampanyenya untuk memilih menteri kabinet berdasarkan kapasitas ternyata hanya janji kosong semata yang mudah diucapkan tapi berat untuk dilaksanakan, karena kesan bagi-bagi kekuasaan pada resuffhle kali ini sangat amat kentara.

Sangat disayangkan, bagi-bagi kekuasaan ini ternyata tidak membuat para penerima jabatan menjadi jengah. Nina berpendapat bahwa pak Luhut bersedia menjadi Menko Maritim dan "menyerahkan jabatan"  Menkopolhukam yang prestisius demi memberikan tempat "layak" bagi Pak Wiranto, dan disisi lain agar agenda pelengseran Menko Rizal Ramli si Kepret dapat berjalan dengan smooth maka dibutuhkan sosok sekelas Pak Luhut untuk menjabat posisi tersebut, dan langkah ini sangat berhasil meredam jurus kepret yang hebat itu.

Nina percaya selain agar smoothnya pencopotan Menko Rizal, tentu saja efek lain yang diharapkan adalah agar gesekan antara Menko Rizal dan Ahok pada akhirnya segera dingin, dan pekerjaan rumah yang luar biasa besar perihal reklamasi cepat atau lambat dapat kembali pada alurnya sesuai harapan para pihak yang berkepentingan.

Lalu coba lihat pencopotan menteri Anis, yang notabene menurut Nina adalah sebuah pilihan yang harus 'terpaksa nggak terpaksa' wajib diambil karena beliau adalah salah satu menteri kabinet kerja yang minim dukungan politik. Demi terbaginya kursi kekuasaan maka pak Anis harus rela dan lapang dada menerima kondisi ini, sabar yah pak Anis.

Menteri Sri Mulyani, seorang yang diyakini oleh publik sangat berprestasi sebagai tokoh keuangan yang berpengaruh didunia, stigma positif ini jualan politik yang kelihatannya sangat manis dimata publik. Namun menurut Nina hal ini tidak sesederhana itu, mari kita coba retret beberapa waktu belakangan, perhatikan bagaimana mantan presiden SBY pada momen-momen tertentu menggelitik kebijakan-kebijakan pemerintahan saat ini, dari sisi analisa politik apabila kondisi ini dibiarkan tentu saja akan membuat pemerintah sedikit banyak menjadi gerah, maka agar mantan tidak semakin jauh tentu keputusan memanggil kembali Ibu Sri Mulyani sebagai bagian dari kabinet terbaru adalah keputusan jitu. Singkatnya jika kita ingat ibu SM maka kita ingat kasus Bank Century yang heboh kala itu.

Jika kita berbicara tentang kekuasaan maka tentu saja kembali kita tergelitik menyikapi keputusan apa yang membuat Presiden Jokowi setelah memutuskan memberhentikan secara hormat menteri ESDM Arcandra dan lalu menyerahkan Plt kepada pak Luhut?.

Jika kita masih ingat Kementerian ESDM ketika dipimpin oleh Menteri SS pada saat itu memunculkan sebuah kegaduhan besar dinegara ini, yaitu tentang kasus Freeport. Dan sungguh kebetulan sekali kasus itu bahkan menyeret-nyeret pak Luhut didalam salah satu transkripnya, apakah pak Luhut tidak jengah menerima beban memikul kementeriaan yang hampir-hampir saja mencoreng wajahnya?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun