Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dilema Jurnalisme Antara Kepentingan Bisnis dan Masyarakat

25 Februari 2018   13:19 Diperbarui: 25 Februari 2018   17:30 3048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal tahun 1970 boleh dianggap sebagai salah satu periode gemilang bagi kerja jurnalisme Amerika Serikat (AS). Klaim ini tentu saja berangkat dari pengungkapan dua kasus besar oleh dua surat kabar terkenal: The New York Times dan The Washington Post.

Dua kasus bermuatan skandal politik yang akhirnya memaksa orang nomor satu Negeri Abang Sam (AS) saat itu, Richard Nixon, mengundurkan diri dari kursi presiden.

Dua tema liputan yang mengantarkan The Times, sebutan The New York Times dan The Post, panggilan The Washington Post, meraih penghargaan The Pulitzer Prizes untuk kategori public services.

The Times merengkuh penghargaan itu pada 1972 atas pengungkapan perdananya untuk kasus Pentagon Papers. Sementara The Post meraihnya pada 1973 atas liputan investigasinya tentang skandal Watergate.

Dua kasus tersebut yang bermuara pada satu nama besar, Richard Nixon, kemudian ditampilkan secara berkelindan dalam The Post. Film ini bisa dikatakan sebagai prekuel untuk produk sinematik yang tayang pada 1976 berjudul All The President's Men.

Foto: IMDB
Foto: IMDB
Dalam film garapan Steven Spielberg ini, kita akan disuguhkan tayangan mengenai andil The Post, selain The Times, dalam mengungkap upaya pembohongan publik tentang Perang Vietnam. Kebohongan yang terus didengungkan selama 30 tahun, semata untuk menjaga gengsi, oleh empat presiden AS, yakni Dwight Eisenhower, John F Kennedy, Lyndon Johnson, dan Richard Nixon.

Upaya pengungkapan yang tentu saja berjalan sangat dramatis, yang tidak hanya melibatkan ancaman dari pemerintah tetapi juga "ancaman" lain dari dalam kantor berita. Serangkaian ancaman yang akhirnya memaksa orang nomor satu The Post untuk memilih antara membela kepentingan bisnis atau kepentingan masyarakat.

Sang nakhoda The Post, Katharine (Kay) Graham (Meryl Streep) tentu tidak pernah menyangka akan berada dalam pusaran masalah yang pelik itu.  

Sebagai penerbit-surat-kabar berjeniskelamin perempuan pertama, ia dihadapkan pada satu tantangan besar yakni menyelamatkan bisnis The Post dengan tetap menaruh harapan suatu saat koran tingkat lokal ini bisa beralih status menjadi koran level nasional.

Tapi aneka tugas untuk mencapai cita-cita itu terlampau berat. Bayangkan saja, Kay harus memimpin laju bisnis The Post nyaris tanpa modal pengetahuan jurnalisme sedikitpun. Sejak surat kabar ini dibeli oleh mendiang ayahnya, Eugene Meyer, pada 1933, ia sama sekali tidak pernah terlibat dalam mengurus perusahaan.

Bahkan selepas sang ayah wafat, pucuk pimpinan tidak lantas menjadi miliknya, malah beralih ke suaminya, Philip Graham, yang kemudian memilih bunuh diri dan meninggalkan bisnis The Post untuk Kay.

Dalam kondisi "keterkejutan" itu, untung saja Kay punya orang kepercayaan seperti Fritz Beebe (Tracy Letts) yang mengajarkannya cara mengembangkan bisnis lewat upaya penawaran saham perdana atau IPO (initial public offering).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun