Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pergi dan Kembali di Luar Nalar (2)

12 Oktober 2021   06:24 Diperbarui: 12 Oktober 2021   06:27 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam artikel terdahulu penulis telah menjelaskan bahwa untuk menyikapi situasi, dan kondisi agar krisis tahun 1998/1999 segera dapat diatasi hendaklah kita dapat mengedepankan 3 hal yaitu: bersyukur, introspeksi, dan jujur. Penjelasan tentang bersyukur dan introspeksi telah disampaikan dalam artikel terdahulu, dan selanjutnya mari kita ikuti dialog penulis dengan penelepon tengah malam.

Jujur. Sampean tadi mengaku sebagai pedagang kecil, bukan? Namun sebelum saya meneruskan, saya mau bertanya terlebih dahulu. Menurut sampen, krisis seperti ini terjadi berapa kali selama negara kita membangun? Suara bertanya: Baru kali ini pak! jawabnya. Penulis: Benar, itupun baru selama 6 bulan to? Suara bertanya: Iya Pak. Penulis: Nah coba dipikir, dan dirasakan. Kita  sudah dapat menikmati keberuntungan selama puluhan tahun, dan baru diuji selama 6 bulan saja sambate wis ngaru oro (sudah mengeluh/ merintih sedemikian rupa). Sedangkan manakala kita menerima keberuntungan, dapatkah kita mendengar jeritan / rintihan saudara -- saudara  kita yang selama puluhan tahun, belum pernah menikmati keberuntungan seperti kita?

Nah mari kita sadari bahwa didalam keberuntungan yang  kita terima tadi,  sesungguhnya ada hak orang lain. Oleh karena itu kita diingatkan oleh-Nya,  dan mulai  saat  ini mari kita sisihkan harta itu lalu kita berikan kepada mereka yang berhak  menerimanya dengan ikhlas. Jadi ya tidak usahlah panggil  media  masa,  untuk mempublikasikan apa yang kita perbuat itu. 

Siapa lagi yang harus memikirkan mereka - mereka itu, dengan tanpa membeda - bedakan warna kulit dan bahasanya, dengan tanpa membeda - bedakan bangsa dan suku bangsanya, dengan tanpa membeda - bedakan agama dan kepercayaanya, dengan tanpa membeda - bedakan status sosial ekonominya, kalau bukan kita? iya to! 

Disisi lain, kalau kita sebagai pedagang sudahkah kita menjadi pedagang yang jujur? Misal. Kita membeli barang seharga Rp 100,-, lalu kita tawarkan dengan harga Rp 125,-. Kemudian pembeli  menawar  barang itu dengan harga Rp 110,- lalu  kita  menjawab,  wah  ya tidak boleh wong pembelian saya saja sudah Rp 115,- kok! Ini namanya membohongi diri sendiri, dan orang lain gedhe dosane lo (besar dosanya lo)?

Mestinya kita menjawab jujur, pembelian saya  Rp 100,- tetapi  di Tulungagung Jawa Timur. Dan  agar  barang  ini  dapat  sampai  ke Bandar Lampung harus dikemas dulu, diangkut, dan lain - lain resiko yang harus saya tanggung. Jadi saya baru memperoleh untung kalau  saya  jual  dengan  harga  Rp 125,-. Karena  itu  kalau mau ya silahkan, bila tidak mau ya silahkan membeli di tempat lain. Suara bertanya: Iya, ya pak. Dan kiranya saya sudah  mengganggu  bapak sekian lama,  karena  itu  saya  minta maaf, dan terima kasih. Selamat malam ucapnya. Sama -- sama, selamat malam, sahut penulis.

Selama pembicaraan ditelepon ini, penulis merasakan adanya suatu keanehan. Karena selama pembicaraan hampir 30 menit lebih, kok suara bertanya tadi tidak pernah menyangkal, kecuali hanya jawaban iya ya pak, iya ya pak yang terdengar, sampai telepon ditutup.

Setelah telepon ditutup, penulis lalu bertanya hal lain kepada istri. Ma, apakah selama papa pergi ke Bogor ada teman yang mencari / menelepon? Dijawab tidak ada. 

Mengapa hal ini penulis tanyakan? Pertanyaan tersebut tentunya wajar -- wajar saja karena boleh jadi begitu penulis berangkat, dan selama di Bogor ada orang yang datang ke rumah ingin bertemu atau berkonsultasi kepada penulis, karena saat itu penulis dipercaya sebagai Kepala Kandep Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lampung Selatan.

Aneh tapi nyata bukan? Kok bisa -- bisanya begitu penulis masuk rumah dan duduk di kursi dekat telepon, telepon langsung berdering, dan bertanya kepada penulis. Seolah -- olah suara bertanya tahu persis posisi penulis. Ternyata jawaban istri, mengatakan tidak ada orang yang mencari penulis. 

Selanjutnya penulis lalu bertanya kepada istri perihal lainnya. Ma, apakah selama ini mama dan anak anak mengetahui bahwa sesungguhnya ada perubahan/kekurangan pada diri papa? Istri: Iya, malah selama papa pergi ke Bogor anak-anak mengusulkan kepada mama, mbok papa disarankan  periksa  ke dokter THT ( Telinga Hidung Tenggorokan).  Kan  kasihan papa, kok papa kayak begitu sekarang. Penulis: Alhamdulillah ma, sewaktu papa melaksanakan tugas di malam 1 Suro 1419 H ini, papa menerima anugerah yang sangat luar biasa dari Allah Swt. yaitu berupa kembalinya suara, dan pendengaran yang hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun