Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Istri

15 Februari 2021   06:07 Diperbarui: 15 Februari 2021   06:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis berdomisili di Bandar Lampung mempunyai 3 orang anak, namun saat itu tidak ada satupun yang berdomisili di Bandar Lampung. Anak sulung dan keluarganya berdomisili di Semarang, si penengah dan keluarganya berdomisili di Kalimantan Timur, sedangkan si bungsu belum berkeluarga berdomisili di Yogyakarta.

Suatu saat penulis bersama istri ke Semarang Jawa Tengah, menghadiri hajat mantu adik penulis yang nomor 3. Penulis dan istri berangkat ke Semarang lebih awal dari waktu acara pernikahan, karena kesempatan itu penulis pergunakan untuk bersilaturahmi dengan saudara, dan teman penulis yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Baru ke rumah adik yang punya hajat mantu, pada hari yang telah direncanakan.

Betapa gembira dan bahagia keluarga adik yang punya hajat, dan sudah barang tentu penulis dan istripun dapat ikut merasakan suasana kebatinan yang sama dengan yang dirasakan adik sekeluarga. Dalam acara tersebut sudah barang tentu penulis dan istri dapat bertemu dengan semua saudara yang berkesempatan hadir, dan juga mendapat saudara baru dari besan adik. Atas perkenan Allah acara akad nikah keponakan dapat berjalan dengan lancar tiada halangan suatu apa, lalu dilanjutkan dengan acara resepsi.

Dalam acara resepsi ini juga diisi dengan ceramah agama, dengan maksud memberi bekal kepada keluarga baru dalam mengarungi kehidupan berumah tangga demi terbangunnya keluarga sejahtera, dan bahagia. 

Setelah menyimak isi ceramahnya penulis merasa bangga, dan sekaligus merasa prihatin kepada penceramah saat itu khususnya, dan umumnya saudara -- saudara penceramah yang mempunyai profesi sebagai penyampai risalah, apapun sebutannya. Mengapa? Karena saat menyampaikan risalah, penceramah menguraikan pokok bahasan tentang istri. 

Penulis merasa bangga karena tampaknya materi tentang istri yang disampaikan para penyampai risalah atau penceramah, sepertinya sudah distandardisasikan. Artinya setiap pokok bahasan tentang istri dimanapun, dan siapapun penyampai risalahnya disampaikan dengan nada dan irama yang sama. 

Sedangkan rasa keprihatinan penulis disebabkan karena mengapa perintah, dan petunjuk Allah disampaikan secara tidak utuh. Alias ada yang disembunyikan atau ada yang didustakan oleh penyampai risalah, disatu sisi; Dan disisi lain para pendengar hanya mengiyakan, dan menerima begitu saja tanpa mau meneliti kembali kepada Al Qur'an yang katanya diimaninya, dan yang diposisikan sebagai pedoman hidup.

Mengapa penulis menyampaikan hal ini? Begini kejadian nyatanya. Suatu saat penulis mendengar ceramah dalam suatu kegiatan pengajian yang diikuti oleh ibu -- ibu, dan bapak -- bapak di Bandar Lampung. Meskipun penulis tidak mengikuti pengajian tersebut, namun karena rumah penulis berdekatan dengan masjid sudah pasti materi yang diceramahkan, penulis dapat mendengarnya. Suatu saat dipengajian tersebut disampaikan materi, dengan pokok bahasan istri. Eeee tak tahunya nada dan irama penyampaiannya sama atau seirama, dengan penceramah yang penulis dengar ketika menghadiri acara pernikahan keponakan di Semarang.    

Dalam acara pengajian di Bandar Lampung, dan ceramah yang disampaikan dalam acara pernikahan di Semarang, penceramah mengatakan Islam membolehkan seorang laki -- laki beristri lebih dari 1 orang. Untuk meyakinkan ucapannya kepada para peserta pengajian, dan para undangan yang hadir kemudian sang penceramah mencuplik surat An Nissa ayat 3, sebagai berikut. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap ( hak -- hak ) perempuan yatim ( bilamana kamu mengawininya ), maka kawinilah  wanita - wanita ( lain ) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.......

Begitu sampai kata empat, titik. Penceramah lalu menyambung dengan pertanyaan yang ditujukan kepada kelompok ibu -- ibu. Nah kalau ibu -- ibu, tidak senang bukan dengan ayat ini? kata penceramah. Sudah barang tentu dijawab: tiduuaaaak, dengan bibir monyong ke depan barangkali. Lalu pertanyaan dialihkan kepada bapak -- bapak: Tetapi kalau bapak -- bapak, pasti senang bukan dengan ayat ini? Sudah barang tentu jawabannya kuurrrr, sennuuuuuaaaaaaang.

Mari kita rasakan melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso ( Jawa ), Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Adil. Kalau memang kita meyakini Allah Maha Adil, mungkinkah Allah membuat suatu ayat disenangi oleh kelompok laki -- laki, tetapi tidak disenangi oleh kelompok perempuan? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun