Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Ibu Mengatakanku Bodoh

3 Januari 2021   06:38 Diperbarui: 3 Januari 2021   06:38 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu malam penulis ke rumah bulik ( adik ibuku ), untuk bermain dengan putra -- putranya. Oleh sepupu, penulis diajak bermain ke rumah temannya yang berlokasi tidak jauh dari rumah bulik. Ternyata disana sudah banyak orang berkumpul, dan tidak hanya terdiri dari anak -- anak sebaya penulis saja, tetapi juga remaja maupun orang dewasa. Suasananya ramai, mereka berkumpul membentuk lingkaran menghadapi permainan yang tampak seru. Setelah mendekat, baru penulis tahu bahwa ternyata mereka sedang bermain kartu, bahkan menggunakan uang sebagai penyemangat permainan alias judi kecil -- kecilan.

Main kartu jenis apa tidak tahu, karena penulis memang tidak pernah tertarik untuk bermain kartu seperti itu apalagi menggunakan uang. Para pemain yang berjumlah 4 orang, masing -- masing diberi 3 lembar kartu. Aturan permainannya adalah, siapa pemain yang memiliki jumlah nilai kartu terbanyak, maka dialah yang akan keluar sebagai pemenang, dan berhak atas uang yang dipertaruhkan dalam permainan tersebut.

Ibu penulis tergolong orang yang pendiam, artinya tidak banyak bicara. Namun demikian, setelah mendapat informasi dari adik beliau atau bulik, ibu sambil berkelakar mengatakan kalau penulis termasuk anak yang bodoh. Mendengar seloroh ibu demikian, penulis malah tertawa. 

Mengapa penulis dikatakan bodoh oleh ibu, begini kejadiannya. Setelah agak lama melihat, eh tak tahunya putra bulik ikut main juga. Si adik kadang -- kadang menang, kadang -- kadang kalah. Setelah lama melihat mereka bermain, lama kelamaan penulis terpengaruh juga untuk ikut bermain, kebetulan penulis mengantongi sedikit uang. Disamping itu cara bermainpun mudah, hanya menjumlahkan nilai dari 3 lembar kartu saja, pikir penulis. Jujur saja penulis baru ini kali bermain kartu, lebih--lebih bertaruh uang.

Dalam permainan, ternyata kartu penulis selalu paling besar jumlah nilai dari ke 3 lembar kartu tersebut. Dengan demikian penulislah yang menang, dan berhak mengambil uang yang dipertaruhkan oleh teman -- teman. Semakin malam permainan kartu semakin ramai, dan akhirnya permainan kartu  bubar, karena uang teman -- teman habis terkumpul disaku penulis semua.

Setelah permainan bubar penulis bertanya kepada adik, uangmu tinggal berapa? Dijawab habis mas, nih saya kembalikan uangmu. Berikutnya teman -- teman yang tadi bermain kartu semua penulis tanya, uangnya tinggal berapa. Dari jawabannya, lalu uangnya penulis kembalikan. Akhirnya uang di saku penulis, tinggal uang yang memang penulis bawa dari rumah. Karena sudah malam, penulis dan teman -- teman bubar meninggalkan rumah teman, yang tetangga bulik tadi. 

Rupanya bulik diberi tahu oleh putranya, kalau penulis menang main kartu tadi malam, tetapi uangnya dikembalikan lagi kepada setiap pemain yang kalah. Keesokan harinya bulik ngomong kepada ibu, kalau penulis tadi malam menang bermain kartu. Semua uang teman -- temannya habis, tetapi kesemuanya dikembalikan lagi kepada teman -- temannya. Karena laporan bulik inilah yang secara spontan ibu lalu berseloroh dasar bocah bodho, sudah menang uangnya dikembalikan lagi. Penulis hanya tertawa, dikatakan bodoh oleh ibu. Atas perkataan ibu, penulis tidak lalu berasumsi bahwa penulis diperbolehkan untuk bermain kartu alias judi.

Ternyata seloroh yang sama pernah terjadi juga, hanya bedanya ini kali yang berseloroh bapak penulis. Kejadiannyapun setelah sekian puluh tahun berikutnya dari seloroh ibu, alias setelah penulis bekerja dan berkeluarga. 

Apakah kejadian yang melatar belakangi sampai -- sampai bapak mengatakan bahwa penulis termasuk orang yang bodoh? Begini kisahnya. Bapak melihat banyak teman -- teman penulis, yang latar belakang pendidikan dan jabatannya lebih rendah dibandingkan dengan penulis. Namun beliau -- beliau itu, tampaknya lebih mampu dan lebih mapan kehidupannya bila dibandingkan dengan penulis. Sedangkan penulis, dikatakan bodoh karena tidak dapat berbuat seperti beliau-beliau itu. O dasar bocah bodho (o dasar anak bodoh), maka rumahpun masih kontrak sana kontrak sini, apalagi memiliki mobil, seloroh bapak. Penulispun hanya tertawa, dikatakan bodoh oleh bapak.

Penulis hanya mengingat wasiat orang tua atau pitutur luhur tanah Jawa dahulu, yang mengatakan "Jaman edan, yen ora ngedan ora keduman" yang artinya, jaman gila kalau tidak ikut menggila tidak kebagian. Oleh kebanyakan orang hanya diambil sepenggal ini saja, maka dapat menjerumuskan seseorang ke lembah sesat bagi mereka yang derajat ketakwaannya rendah. Ada orang korupsi, ikut -- ikut korupsi. Karena beranggapan kalau tidak ikut korupsi kuatir tidak kebagian. Akhirnya berkembang menjadi korupsi berjama'ah.

Penulis selalu ingat ( Jawa = eling ), sesungguhnya wasiat atau pitutur luhur tadi masih ada kelanjutannya. Yaitu "nanging sak bejo bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo" yang artinya, tetapi seuntung -- untungnya orang yang lupa, masih untung orang yang ingat dan waspada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun